Senin, 29 Oktober 2012

MERAJUT KEMBALI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA

OLEH : ARIPIANTO
Hari Sumpah Pemuda merupakan suatu makna yang tak terlepas dengan peran aktif pemuda. Makna Sumpah Pemuda merupakan peran pemuda di Indonesia. Sumpah Pemuda harus dilestarikan dalam jiwa pemuda saat ini, maupun masa yang akan datang. Sebagai generasi muda kita jangan bertanya apa yang telah diberikan negara kepada pemuda, namun sebaliknya sebagai pemuda harus bertanya dalam hati apa yang telah diberikan kepada negara Indonesia. seluruh komponen pemuda sudah seharusnya kembali membangun semangat kebersamaan dan persatuan yang sudah terbentuk sejak 1928. "Jangan malah sebaliknya, menciderai semangat sumpah pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Jadikan semangat ini sebagai pendorong lajunya pembangunan serta kalangan pemuda dapat memposisikan dirinya sebagai karakter diri yang profesional di bidangnya masing-masing.Dengan adanya sikap profesionalisme disertai semangat kepemudaan, maka kita akan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata negara lain.
Dalam catatan sejarah perjalanan bangsa ini menempatkan peran pemuda senantiasa menjadi pilar dan motor untuk mencapai kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Di mulai dari Budi Utomo tahun 1908, Sumpah pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, hingga saat ini, pada masa reformasi, pemuda yang merupakan tokoh intelektual bangsa senantiasa memberikan pemikiran dan pergerakan demi kedaulatan bangsa. Dalam perkembangan zaman pada era globalisasi ini, pemuda dituntut untuk memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan, baik sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Selain itu, pemuda juga diharapkan dapat bertanggung jawab  untuk tetap bisa menjaga pancasila, keutuhan NKRI, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Realitas Pemuda
Muhammad Hatta mengatakan, “pemuda bagai mendayung di antara dua karang.” Mereka memiliki cita-cita dan mereka menerima sebuah tantangan. Pemuda kini menerima tantangan yang lebih kompleks. Kompleksitas yang besar dibanding tantangan pemuda masa lalu, akibat perkembangan zaman yang semakin membiak, dari segi teknologi dan peradaban. Tantangan yang membutuhkan respon yang cepat dan tanggap. Tidak itu saja, jika mereka tidak bisa seperti karang, maka mereka terhembas ombak. Jika mereka tak bisa seperti layang-layang, mereka akan terhembas didera sang angin.
Mampu menyesuaikan diri, memiliki komitmen yang tinggi dan mampu mengatasi terhadap dampak negatif dari perkembangan kemajuan iptek dewasa ini, karena dengan begitu canggihnya arus informasi akan memberikan added value bagi suatu bangsa tetapi harus diantisipasi dampak negatif dari era globalisasi yang membuat antar manusia sebagai warga dunia menjadi dekat dengan adanya internet. Menurut ahli informasi Indonesia bahwa arus informasi yang bernuansa negatif lewat dunia maya setiap harinya harinya hampir 2000-an tetapi yang positif hanya sekitar 600-an. Dari perkembangan ini berarti para pemuda harus dapat mengantisipasi dampak negatif dari kemajuan iptek ini agar para pemuda memilki prinsip yang kuat sebagai bangsa indonesia dengan memiliki karakter, sehingga tidak sampai terombang-ambing, apabila tidak memilki karakter yang kuat maka justru para pemuda akan dapat dininabobokan dengan nilai informasi yang ada sehingga akan dapat membuat mental pemuda Indonesia menjadi rapuh dan dapat dikuasai oleh negara lain.
Diharian kompas.com 17 agustus 2012,menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng mengatakan, saat ini tantangan pemuda tidak kalah berat dengan pemuda pada masa kemerdekaan. Hanya saja , kata Menpora, perjuangannya disesuaikan dengan kondisi saat ini. Tantangan saat ini adalah mengisi kemerdekaan," kata Menpora usai upacara HUT Kemerdekaan RI ke-67 di halaman Kementerian Pemuda dan Olahraga, di Jakarta.minsalnya saja,Indonesia akan menghadapi ASEAN Community (Masyarakat ASEAN). Pada saat Masyarakat ASEAN diterapkan, maka arus barang, jasa dan orang akan semakin lancar di antara negara ASEAN. Jika saat ini pemuda hanya bersaing di dalam negeri, para pemuda Indonesia akan bersaing dengan rekan mereka dari negara ASEAN lainnya. "Untuk itu pemuda Indonesia harus mampu bersaing dan tidak boleh kalah. Jika kalah, maka akan banyak produk-produk negara tetangga yang masuk Indonesia, demikian juga tenaga kerja dari negara tetangga akan masuk. Ini tantangan ke depan. Anak muda Indonesia harus siap menghadapi tantangan itu.
Semangat Sumpah  Pemuda Vs Tantangan Zaman
Melihat realitas kepemudaan masa kini, banyak pihak yang meragukan eksistensi pemuda kini dan masa depan. Kecemasan dan kegelisahan ini terkait dengan melemahnya kiprah dan kontribusi pemuda dalam pembangunan. Makna Sumpah pemuda tak lagi di jadikan pertanggungjawaban pemuda dalam mengisi pembangunan, tetapi hiasan sejarah yang kering akan makna. Selayaknya spirit Sumpah Pemuda dipahami sebagai konsep dasar jati diri pemuda yang pada setiap zaman memiliki tuntutan dan tantangan tersendiri. Reaktualisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda akan terus diuji oleh kompleksitas dan tantangan zaman. Spirit Sumpah Pemuda bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan dinamis dan dialektis.
Oleh sebab itu, reinterpretasi dan reaktualisasi semangat Sumpah Pemuda merupakan suatu keniscayaan. Pragmatisme pemuda era sekarang telah menjebak pemuda dalam pusaran tiada akhir dan menumpulkan idealisme. Sumpah yang membuktikan betapa besar semangat pemuda Nusantara untuk bersatu dalam satu kesatuan, satu pemerintahan, satu wilayah, yaitu NKRI. Peringatan Sumpah Pemuda penting agar kita diingatkan kembali bahwa sumpah suci itu bukanlah sesuatu yang lantas memanjakan kaum muda dan membuat pemuda terninabobokan dengan kebesaran sejarahnya.
Setidaknya Sumpah Pemuda menjadi pijakan bagi kaum muda agar turut berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa pemuda jangan memiliki suatu kebangaan karena mendapatkan fasilitas dari orang lain tetapi harus memilki suatu kebangaan berkat hasil usaha sendiri. Dengan demikian pemuda yang merupakan tunas harapan bangsa memiliki prinsip keyakinan yang kuat dengan penuh pendirian akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri agar jangan tergoda oleh setiap ganguan yang akan menghambat keberhasilan.
Bagi bangsa kita perkembangan pendidikan yang mengembangkan kepribadian yang bercirikan kebangsaan yaitu pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaran dan hasil penddikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia. Dengan memiliki karakter atau watak yang bercirikan ke Indonesian maka para pemuda sebagai generasi penerus pemegang tampuk pemerintahaan di masa yang akan datang sudah terpatri dalam jiwa dan raganya untuk mencapai sikap dan perilaku yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan memilki jiwa nasionalisme dan rasa kebangsaan yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita luhur perjuangan para the founding father bangsa Indonesia.
Akhirnya, setiap pemuda Indonesia harus memilki sikap dalam dirinya untuk memajukan negaranya seperti yang di ungkapkan oleh Jhon F. Kennedy yaitu, “ask not what your country can do for you. But ask what you can do for your country” yang bermakna jangan tanya apa yang tanah airmu dapat memberikan kepada mu tetapi tanyakanlah apa yang dapat berikan kepada tanah air mu, sedangkan bung karno berpesan kepada kaum pemuda,beri aku 1000 orang tua, akan aku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 orang pemuda, akan aku goncangkan dunia.” (Ir. Soekarno),dan Pada saatnya nanti para pemuda harus siap menerima estafet kepemimpinan pada masa depan. Masa depan gemilang yang penuh perubahan. Semoga semangat Sumpah Pemuda masih bergelora di dada pemuda. Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2012.







Rabu, 17 Oktober 2012

Birokrasi Vs KPK (2-Tamat)


Oleh: Aripianto (Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru)


BIROKRASI telah menjadi lahan persemaian subur bagi benih korupsi di Indonesia. Birokrasi yang semula berkultur melayani dengan tulus kini melayani dengan fulus.
Itulah fakta yang terungkap dalam survei integritas sektor publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Survei dilakukan terhadap 65 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat pusat.
Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu nilai rata-rata skor integritas 5,33. Angka itu tergolong rendah jika dibandingkan dengan skor integritas sektor publik di negara lain.
Hasil itu dikatakan mengejutkan karena ternyata pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih masih sebatas tekad. Belum menjadi sebuah gerakan.
Buktinya, korupsi di birokrasi pemerintahan tetap subur meski sudah ada mekanisme pengawasan melekat. Korupsi di birokrasi pemerintahan sudah berkembang biak menjangkiti segenap lapisan masyarakat.
Dari hasil survei KPK itu ditemukan kenyataan bahwa petugas di unit layanan sudah terbiasa menerima tips, hadiah, atau imbalan lainnya sebagai bagian dari pengurusan layanan. Tidak sedikit pula masyarakat yang menganggap pemberian imbalan itu merupakan hal yang wajar.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengaku sudah tak punya ide mencari jalan keluar dari merosotnya daya saing Indonesia. Sofjan mengatakan penurunan daya saing tersebut masih dipicu dari masalah klasik yang belum juga dibenahi pemerintah. Misalnya soal birokrasi dan korupsi, infrastruktur, gejolak buruh, dan lain-lain… @


*Penulis adalah Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau.
HP : 081268949389

Gejolak Korupsi di Tengah Birokrasi (1)


Oleh: Aripianto (Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru)

BIROKRASI tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, terutama dalam penyediaan pelayanan publik. Atau, bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigid (kaku).
Hal tersebut karena birokrasi terikat peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meski pun begitu, birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan.
Birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi.
Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap birokrasi juga masih sangat besar. Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, dengan sifat dan lingkup pekerjaannya, birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain.
Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan.
Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Secara teoritis birokrasi dapat membantu jika dibutuhkan dalam memberikan kontribusinya pada pengambilan kebijakan, dan tidak boleh pula berpihak kepada kepentingan yang sempit , dari kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Birokrasi harus netral, berperan semata-mata sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas operasional atau adminstratif secara profesional. Dalam literatur administrasi negara klasik dikenal dengan dikotomi politik dan adminstrasi (Wilson;1987, dan Goodnow,1900).
Politik berurusan dengan pengambialan kebijakan, sementara administrasi berurusan dengan implementasi kebijakan. Sebagai lembaga implementasi, sistem dan prosedur birokrasi harus dikembangkan secara efisien, antara lain dengan struktur birokrasi yang hirarkhis, aturan-aturan yang berlaku secara impersonal, juga sistem pengembangan karier yang dapat menjamin perkembangan profesional aparaturnya.
Tujuan dari pengembangan konsep ini adalah untuk menjamin efektivitas pemerintahan yang telah berkembang secara demokratis. Artinya mekanisme politik yang demokratis harus ditopang oleh birokrasi yang profesional agar semua kebijakan politik yang diputusakan dapat diimplementasikan secara lebih efisien.
Pengembangan birokrasi yang rasional pada akhirnya dapat menimbulkan proses birokratisasi, yaitu menguatnya peranan politik birokrasi dalam sistem pemerintahan yang pada gilirannya telah mengurangi kadar demokrasi dan sistem politik.
Meski pun birokrasi resminya merupakan lembaga implementasi, tetapi sesungguhnya para aparaturnya memiliki diskresi yang tinggi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Birokrasi menjadi salah satu dari segitiga di samping politisi dan kelompok kepentingan yang mempunyai peranan kunci dalam mekanisme politik (Long;1986).
Oleh karena itu, negara-negara modern saat ini sering disindir dengan julukan yang bersifat derogatif seperti adminstrative state (Waldo;1948), bureaucratic state (Caiden,1982) atau government of the bureaucrats, by the bureaucrats, for the bureaucrats (Caiden;1986). Hal demikian dimungkinkan karena birokrasi dilengkapi dengan sumberdaya yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga politik lainnya.
Dengan sumber daya yang dimiliki dan dikuasai birokrasi dapat melakukan mobilisasi dukungan politik secara efektif terhadap langkah-langkah strategis yang diambil (Long;1986). Pada tingkat ini sesungguhnya netralitas birokrasi telah dilanggar dan demokrasi telah mengalami proses pembusukan.
Tetapi proses pembusukan pada negara-negara yang telah maju, relatif dapat dikendalikan karena birokrasi muncul setelah demokrasi. Partai-partai politik telah terlanjur berkembang cukup mapan, rekrutmen politik yang demokratis telah cukup melembaga dan sikap politik warga negara sudah cukup dewasa.
Berbagai negara tersebut, kritik-kritik sosial dapat muncul dengan bebas dan proses chek and balance masih dapat berlangsung dengan cukup efektif.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, birokrasi berkembang tanpa didahului oleh demokratisasi. Indonesia mempunyai sejarah birokrasi kerajaan yang meletakan para birokratnya (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja, lalu muncul birokrasi kolonial yang dikembangkan secara rasional (Weberian) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah, dan sejak kemerdekaan sampai sekarang birokrasi merupakan organisasi besar dan modern di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi.
Sejak pemerintahan Orde Baru birokrasi berkembang merupakan lembaga yang sangat dominan dalam sistem politik Indonesia, dengan fungsi yang sangat banyak, sebagai insterumen dalam pelayanan publik, sebagai agen pembaharuan dan pembangunan, dan sebagai kekuatan politik untuk mendukung kekuasaan baik pada birokrasi sipil maupun militer.
Reformasi Birokrasi ditataran Pemerintahaan
Pada birokrasi, ketaatan bawahan terhadap atasan didasarkan pada mandat formal yang dimiliki atasan, bukan karena tradisi atau karisma yang dimiliki atasan. Prosedur diletakan sebagai alat untuk mencapai efisiensi, bukan ceremony yang memiliki nilai sakral.
Karena berdasarkan latar belakang tersebut, sifat otoritarian dari birokrasi tidaklah kental, pada tingkat tertentu individu dalam birokrasi untuk menjaga otonominya bisa menolak tidak kepada atasannya misalnya untuk melakukan berbagai pekerjaan diluar tugasnya. Birokrasi di Indonesia tidak semuanya bercirikan pemikiran Max Weber, karena tumbuh diatas masyarakat yang feodalistik (Kuntowijoyo; 1994).
Birokrasi Indonesia dirancang sebagai birokrasi yang rasional, tetapi dalam prakteknya sering diwarnai budaya feodalistik, sehingga praktek-praktek hubungan yang bersifat nepotisme mudah berkembang (Masdiana; 1995).
Hubungan antar individu dalam birokrasi bisa sangat impersonal, misalnya ketika birokrat berhadapan dengan kepentingan klien yang tidak ia kenal. Tetapi ketika berhadapan dengan yang dikenalnya, hubungan dapat berubah menjadi sangat personal.
Birokrasi agar secara substantif menjadi demokratis perlu menjaga komitmennya kepada publik, birokrasi harus berpihak kepada kepentingan rakyat.
Politisi dan adminstrator publik juga membawa mandat publik untuk melayani kepentingan publik, dan karenanya haruslah berbuat sesuai dengan rasa kewajiban moralnya sebagai pelayanan publik (Harmon &Mayer; 1986).
Tanpa kesadaran moral demikian birokrat dapat terperangkap kepada kecenderungan melayani dirinya, sesuatu yang secara mencolok menggejala dalam banyak birokrasi publik; adanya hukum-hukum formal dimungkinkan direkayasa untuk membela kepentingannya, dan melindungi diri dari kontrol sosial.
Teori Birokrasi yang ditulis oleh H.G. Frederickson (1980) bahwa keputusan pemerintah adalah hasil dari tawar menawar atau negosiasi diantara para aktor politik yang duduk dalam lembaga Legislatif yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. *(bersambung)



Senin, 08 Oktober 2012

DILEMA DEMOKRASI DI NEGARA PANCASILA


OLEH : ARIPIANTO
Indonesia terlepas dari sistem otoritarian kepemimpinan Soeharto sudah mencapai  14 tahun. Lahirnya Demokrasi adalah metode yang berorientasi menghargai kebebasan berpikir, aspirasi, berkelompok, berserikat dll. Dengan perjuangan mahasiswa dan aktivist melawan otoritarian Bpk. Soeharto sebagai Presiden ke-2 Indonesia. Akhirnya tahun 1998 menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia, berakhirnya Orde baru dan berganti ke zaman Reformasi. Dengan berdemokrasi seharusnya masyarakat lebih melek akan ilmu pengetahuan, jika perkembangan ilmu dan teknologi yang sudah semakin modern ini tidak diimbangkan dengan wawasan setiap masyarakat yang ada didalam suatu Negara. khususnya Negara Indonesia, maka bergantinya sistem yang Otoriter menjadi Demokrasi di Negara ini tidak akan membuat perubahan secara signifikan. Kebanyakan masyarakat Indonesia  mengetahui demokrasi karena adanya “Pemilu”.  Memang benar adanya pemilu disuatu Negara maka Negara tersebut  menganut sistem Demokrasi, tetapi fungsi demokrasi bukan sekedar pemilu saja, karena esensi dari Demokrasi sendiri masih sangat luas..
Kebodohan dan kemiskinan di Negara ini tidak ada habisnya, seakan-akan sudah direncanakan untuk melanggengan kepentingannya, sungguh tragis chaos dinegara sendiri dengan orang kita sendiri. Jika kondisi Negara Indonesia masih seperti ini ditahun tahun kedepannya maka Demokrasi pun bukan menjadi solusi kesejahteraan bagi Masyarakat Indonesia. Karena sesungguhnya solusinya adalah terciptanya kesadaran bagi setiap Masyarakat Indonesia untuk mengetahui fungsinya sebagai masyarakat di Negaranya sendiri,padahal demokrasi bukan tujuan tetapi cara untuk mencapai tujuan bersama. Negara Indonesia terbentuk bukan dikarenakan factor kebetulan semata,melainkan sebuah cita-cita bersama seluruh element masyarakat yang ingin hidup dengan merdeka dan bebas dari penjajahan bangsa(Negara) lain. Masyarakat yang pada waktu itu masih terpecah-pecah yaitu terdiri dari beragai macam suku-suku dan budaya yang berbeda pada akhirnya bersatu-padu membentuk sebuah Negara yang berdaulat dengan harapan masyarakat yang tadinya terjajah dan hidup dalam belenggu kemiskinan,tertindas,dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri, dengan bersatunya  membentuk sebuah Negara Indonesia dengan tujuan  dapat hidup makmur dan sejahtera serta mampu menentukan masa depanya sendiri . Hal ini juga telah tertera dalam konstitusi Negara yaitu UUD 1945, yang didalamnya tertera secara gamblang tentang maksud dan tujuan terbentuknya Negara berserta tugas dan kewajibannya.
Maksud dan tujuan terbentuknya Negara yaitu tidak lain  untuk menciptakan kesejahteraan,keadilan,kemakmuran dan rasa aman bagi masyarakatnya. Tugas dan kewajiban Negara adalah mewujudkan maksud dan tujuan tersebut, tugas dan kewajiban Negara memang sangat berat, namun itulah fungsi dari terbentuknya Negara ini, untuk dapat mewujudkanya Negara harus mampu mengintepretasikan pedoman yang dimiliki ( UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika  ) dalam menjalankan roda pemerintahanya, baik dalam membuat sebuah kebijakan nasional maupun dalam pembuatan Hukum-hukum dalam Negara dengan berpanduan  dan tanpa melenceng dari pedoman yang sudah ada.
Demokrasi Pancasila Vs Demokrasi Liberal
Bagaimanakah dengan demokrasi di Indonesia ? Indonesia menganut paham Demokrasi Pancasila yang berbeda dengan demokrasi liberal. Demokrasi liberal meletakkan kebabasan induvidu yang toleran sebagai urgensi kehidupan negara dan masyarakat. Oleh karena itu kontrol rakyat dan atau wakilnya kepada penguasa dan negara adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Dalam konteks ini C.F. Strong mengemukakan; negara konstitusional sekarang ini harus didasarkan atas suatu sistem perwakilan yang demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Mengenai hal ini harus tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Sedangkan prihal bagaimana pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam arti bentuknya, maka pertama-tama harus dilihat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya, meskipun ini bukanlah satu-satunya cara untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila. Dalam kesempatan ini yang terpenting adalah, apakah demokrasi dan pelaksanaan demokrasi  di negara Indonesia akan berfungsi dan memainkan peranannya sangat ditentukan oleh keinginan melaksanakan UUD 1945 secara konsekuen. UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di dalam UUD 1945 termuat cita-cita bangsa dan arah kehidupan bernegara dan berbangsa, termasuk di dalamnya keberadaan hukum dalam kehidupan negara. Bila demikian halnya, meminjam pertanyaan Sri Soemantri.M, sampai seberapa jauhkah konstitusi dapat dipertahankan dan bagaimanakah pengaturannya apabila terjadi bermacam-macam masalah yang perlu mendapat pengaturan. ? Dalam persolan ini, maka DPR harus dapat menyesuaikan putusan-putusannya sesuai dengan kemauan masyarakat, yakni sesuai dengan keadaan masyarakat atau social engginering ( istilah Rescoe Pound). Jadi, seandainya akan di buat suatu UU (hukum), maka materi dalam UU itu harus diterima oleh masyarakat atau tidak. Dengan demikian kian jelas, bahwa Demokrasi Pancasila yang sebagaimana juga dituangkan dalam UUD 1945 berserta penjelasannya akan terwujud bila bila sistem politik demokratis dan UUD 1945 harus dijalankan secara konsisten. Demokrasi  yang bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan) Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demokratia) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata (demos) "rakyat" dan (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.Demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Yang bermakna kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Sejarah Perjalanan Demokrasi Pancasila
Sejarah Perjalanan  demokrasi dalam upaya mencari bentuk demokrasi yang paling tepat diterapkan di negara RI, ada semacam trial and error, coba dan gagal. Namun kalau direnungkan secara arif, ternyata untuk menuju ke sistem demokrasi yang ideal perlu waktu yang cukup panjang. Sebagai perbandingan dapat dilihat sejarah perkembangan konsep demokrasi di Amerika Serikat, yaitu suatu negara yang dianggap sebagai negara demokrasi yang ideal sekali, di negara tersebut sebenarnya masih banyak kekurangan. Untuk menyusun konstitusi, Amerika memerlukan waktu selama 11 tahun, untuk menghapus perbudakan memerlukan waktu 86 tahun, untuk memberi hak pilih kaum wanita memerlukan 114 tahun, dan untuk menyusun draf konstitusi yang melindungi seluruh warga negara memerlukan waktu selama 188 tahun. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia mencari bentuk demokrasi yang tepat sejak tahun 1945 hingga sekarang masih terantuk-antuk. Hal ini bukan karena ketidakseriusannya tetapi karena memerlukan waktu panjang. Membicarakan demokrasi Indonesia, bagaimanapun juga tidak terlepas dari periodesasi sejarah politik di Indonesia, yaitu apa yang disebut sebagai periode pemerintahan massa revolusi kemerdekaan, pemerintahan demokrasi liberal, pemerintahan demokrasi terpimpin, dan pemerintahan demokrasi pancasila.
Sebelumnya Ephorus Huria Kristen Batak Protestan(HKBP) Pdt Dr.Bonar Napitulu mengatakan,pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil presiden Boediono memilki reputasi buruk dalam penegakan hukum, terutama menjamin hak dan keamanan waganegara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pemerintah lumpuh ketika ada kelompok warganegara lain yang bersikap main hakim sendiri kepada kelompok warganegara lain yang memiliki keyakinan berbeda. Selama 2010, negara terkesan melakukan pembiaran terhadap fenomena kekerasan atas nama agama. Pemerintah kehilangan roh dan jiwa UUD 1945 dan pancasila(Rakyatmerdeka,20/02/2010)...









Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
http://suar.okezone.com/read/2012/10/09/58/701096/dilema-demokrasi-di-negara-pancasila
http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1356&kat=1
http://media.hariantabengan.com/index/detailopiniberitatext/id/30077

Jumat, 05 Oktober 2012

MISKIN PENDIDIKAN, KAYA SUMBER DAYA ALAM


OLEH : ARIPIANTO
 Pada tahun ini menjadi tahun yang sangat suram bagi dunia pendidikan Indonesia. Belum lepas dari ingatan kita,  di harian kompas  tanggal 3/3/2011 menginformasikan  menurunnya peringkat indeks pembangunan pendidikan  (IPK) Indonesia dari peringkat 65 pada tahun lalu menjadi 69. Sumbernya berasal dari Unesco berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitoring Report  2011.
 Di bulan November 2011  ini, UNDP   mengumumkan Human Development Index –HDI-2011  (Indeks Pembangunan Manusia-IPM).  Indonesia  berada pada peringkat 124  dari 187 negara.  Dengan Indeks 0,617. Data UNDP juga menunjukkan posisi Indonesia menempati urutan ke enam di lingkungan negara-negara Asean.  Urutan pertama  diduduki oleh Singapura (peringkat ke-26, indeks 0,866), kedua Brunei (peringkat ke-33,indeks 0,866), ketiga Malysia (peringkat ke- 61,indeks 0,761), ke empat Thailand (peringkat ke 103, indeks 0,682), ke lima (peringkat ke-112,indeks 0,644). IPM adalah indeks pembangunan manusia yang dihitung menggunakan berbagai indakator termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan Indonesia sendiri pada  indeks 0,584  . Peringkat ini merosot dari tahun lalu yang menduduki  peringkat  ke-111 dari 182 negara.
Sekalipun menuai protes dari pihak pemerintah, data ini sebaiknya dipakai sebagai koreksi atas tata kelolah dunia pendidikan di Indonesia.
Masalah Pendidikan
Rendahnya indeks Pembangunan  Pendidikan (IPK)  dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih menggambarkan  dunia pendidikan masih dilanda berbagai persoalan-persoalan yang komplek. Persoalan-persoalanya bekisar di seputaran kebijakan  pemerintah, gonta ganti kurikulum,  minimim nya kemampuan pendidik dan  peserta didik , proses belajar-mengajar , serta minimnya sarana dan prasarana yang memadai serta hasil atau mutu pendidikan.  Ditambah lagi yang menjadi sorotan tindakan kekerasan yang dilakukan peserta didik ditingkat sekolah sampai perguruan tinggi. 
Persoalan lainnya terkait kebijakan pendidikan yang oleh pemerintah mengalokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN, namun pada kenyataannya hanya “dibibir”. Realisasinya harus melalui keputusan mahkamah konstitusi nomor 13/PUU-VI/2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 Persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Lebih spesifik pengamat pendidikan dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. Arief Rachman, menilai pendidikan di Indonesia masih miskin proses. Kalangan pendidik dan pengajar selama ini hanya memusatkan perhatian pada orientasi hasil, bukan proses pembelajaran. “Ini kritik besar terhadap dunia pendidikan kita. Harus ada rekonstruksi terhadap proses pembelajaran “... (tempo)
Rendahnya mutu sumber daya manusia merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan secara nasional. Begitu juga halnya rendahnya mutu sumber daya manusia juga menjadi batu sandungan dalam  menghadang arus globalisasi yang mendunia saat ini,  Salah satu ciri  “Globalisasi”   adalah  munculnya era persaingan mutu.  Jika bangsa ingin  berhadapan dengan percaturan globalisasi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata sumber daya manusia melalui sektor pendidikan.  
Paradoks Pendidikan
Ungkapan sederhana untuk  menggambarkan ke kinian pendidikan di Indonesia  adalah pendidikan belum menjadi “panglima di negaranya sendiri”.  Dalam hal ini, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, tetapi kekayaan sumber daya alam yang melimpah itu belum mampu mengangkat taraf kesejahteraan rakyat Indonesia, Sebaliknya beberapa negara yang sangat miskin sumber daya alam dapat berkembang menjadi negara-negara yang  maju.
Secara empiris pun demikian. Dalam buku  Escaping The Resources Curse digambarkan kondisi negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. “Ada fenomena menarik yang oleh ilmuwan sosial disebut sebagai “kutukan sumberdaya alam” (Auty 1993). Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil. Secara paradoks, meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi minyak serta sumberdaya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi penghambat daripada menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Di sisi lain, kekurangan sumberdaya alam ternyata belum terbukti menjadi penghalang terhadap kesuksesan ekonomi. Contohnya—yakni Macan Asia (Hong Kong, Korea, Singapura, dan Taiwan)—semuanya sukses memiliki industri ekspor yang maju berbasiskan barang-barang manufaktur dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, padahal tidak memiliki cadangan sumberdaya alam besar...(2008:1)
Sejumlah studi menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah bentuk investasi yang paling dilupakan di negara-negara kaya sumberdaya alam (Gylfason 2001). Ketika banyak negara mulai bergantung pada kekayaan sumberdaya alam, negara-negara itu tampaknya melupakan kebutuhan tenaga kerja yang terdiversifikasi dan punya keahlian, yang sebenarnya bisa mendukung sektor-sektor ekonomi lainnya begitu kekayaan sumberdaya alam mengering...(2008:12)
Sekarang tinggal kesadaran kita berbangsa dan bernegara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam untuk  melakukan  perubahan-perubahan  melalui instrument pendidikan menuju kesejahteraan sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagimana pendidikan  itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang dialami oleh orang yang belajar (learners).  Education for us is a process which changes the learners (Bloom, Madaus, & hastings, 1981: 5).
 
 Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau




DRAMA PENDIDIKAN KITA”UJIAN NASIONAL DATANG, SISWA CEMAS”


OLEH : ARIPIANTO
Tinggal menghitung hari ujian nasional(UN) akan di laksanakan di seluruh indonesia, ini menjadi momok bagi seluruh SD/sederajat, SMP/ sederajat, SMA atau SMK bahkan juga guru di sekolah yang bersangkutan. Ada yang bahagia karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil yang bersedih karena tidak berhasil lulus. Yang lulus belum berarti mereka lebih pintar daripada yang tidak lulus dan begitu pula sebaliknya yang tidak lulus tidak mengindikasikan bahwa mereka lebih bodoh. Pemerintah melalui Kemendikbud telah mengeluarkan peraturan terbaru tentang Ujian Nasional 2012 yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 59 Tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional. Badan Standar Nasional Pendidikan  selaku penyelenggara Ujian Nasional telah menerbitkan Peraturan Nomor: 0012/P/BSNP/XII/2011 tentang Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah Dasar Luar Biasa Tahun Pelajaran 2011/2012 dan Peraturan  Nomor: 013/P/BSNP/XII/2011 tentang Kisi-Kisi Ujian Nasional untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun Pelajaran 2011/2012. Sementara itu, untuk mengedukasi semua pihak yang berkepentingan dengan Ujian Nasional,  Kemendikbud dan BNSP  telah bekerja sama menerbitkan Buku Tanya Jawab  tentang Ujian Nasional dan Materi  Presentasi Sosialisasi  Ujian Nasional  2012...
Bercerita tentang ujian yang mengandalkan sistem pilihan ganda sangat memungkinkan segala sesuatunya terjadi. Ada unsur spekulasi dan untung-untungan di dalam menjawab soal-soal ujian. Kreatifitas para siswa tidak muncul. Kecurangan juga sangat dimungkinkan terjadi karena jawaban-jawaban hanya disimbolkan dengan alfabet seperti “A”, “B”, “C”, “D’ dan “E”. Dengan bantuan teknologi jawaban-jawaban dapat ditransferkan oleh seseorang dengan cepat kepada para siswa yang sedang mengikuti ujian. Sebagai buktinya kita membaca di surat kabar dan menonton di televisi bahwa ada siswa yang menangis tidak lulus karena mencontek kunci jawaban yang salah. Suatu ironi menangisi ’kebodohan’ mental. Memang tidak selalu hal-hal negatif yang mewarnai Ujian Nasional. Pemerintah sendiri mengklaim bahwa dengan sistem UN seperti saat ini para siswa menjadi lebih rajin belajar. Pada satu sisi pernyataan pemerintah ini benar. Sebagian dari siswa menjadi lebih rajin dalam belajar atau mungkin ‘belajar’? Mengapa ‘belajar’? Ini diakibatkan belajar dipersempit maknanya hanya dengan membahas soal-soal. Padahal belajar lebih dari itu. Belajar merupakan proses panjang yang diakhiri dengan evaluasi dan bukan hanya mempelajari soal-soal ujian. Ada satu hal lagi yang yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak semua siswa menjadi lebih rajin dalam persiapan  menghadapi Ujian Nasional (UN). Pemerintah mungkin lupa akan adanya kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat beragam. Menurut  pakar psikolog, setiap siswa memerlukan perlakuan yang berbeda termasuk dalam hal cara belajar. Ada siswa yang ’diancam’ akan lebih giat dan rajin belajar, tetapi tidak semua menjadi lebih rajin hanya dengan ancaman. Ada yang perlu penyadaran agar lebih rajin. Singkat kata tidak mungkin membuat siswa siswi kita yang jumlahnya ribuan tersebut dengan satu sistem dan metode saja walaupun metode tersebut nampaknya berhasil. Oleh karena itu pemerintah untuk lebih instrospeksi diri dan melihat dampak negatifnya yang sudah banyak terbukti dan bukan hanya mempertahankan argumen manfaatnya saja.

Belajar dari Pengalaman Bangsa lain
Kekhawatiran dan keprihatinan akan dampak buruk ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah banyak disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Dampak buruk ujian yang distandardkan juga disadari dan teramati di negara seperti Cina, misalnya. Yong Zhao, seorang profesor bidang pendidikan di Michigan State University, dalam artikelnya “China and the Whole Child” yang dimuat dalam majalah Educational Leadership (Mei 2007), mengulas tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan yang dihadapi Cina. Menurut Yong Zhao persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan Negeri Tirai Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni pemberlakuan sistem ujian yang distandardkan (standardized testing) secara nasional, yang kemudian menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi pada tes (test-oriented education)...
Kendati artikel tulisan Yong Zhao tersebut sama sekali tidak menyinggung perihal praktik tak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional sebagaimana terjadi di Indonesia, dampak-dampak buruk tersebut di atas mengisyaratkan bahwa para guru di Cina juga mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang sama dengan para guru di Indonesia terkait dengan tingkat kelulusan para siswa, sebab ujian nasional di Cina juga menentukan kelulusan siswa.  Di negara maju seperti Amerika Serikat pun, pemberlakuan ujian yang distandardkan juga banyak ditentang sebab dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa, serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas bawah yang mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan sumber-sumber belajar.  Dalam disertasinya, Dale E. Margheim (2001), seorang mahasiswa program doktoral di Virginia Polytechnic Institute and State University mengungkapkan sebuah contoh dampak buruk standardized tests yang barangkali juga terjadi di Indonesia, dan negara-negara lain yang menerapkannya. Natalie J. Martinez, seorang siswi kelas XII SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan melakukan perhitungan matematis dengan bilangan pecahan, meskipun Natalie telah dinyatakan  menerima beasiswa untuk belajar musik di Universitas Incarnate Word...(Kompas 12/03/2009)
Dale E. Margheim (2001) juga menunjukkan satu bentuk ketidakadilan lain yang disebabkan oleh ujian yang distandardkan. McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang ia kutip dalam bagian disertasinya, menyebutkan bahwa sebagian besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di dalamnya ujian yang distandardkan, didasarkan pada premis bahwa semua siswa mampu mencapai standard akademik tinggi meskipun presmis tersebut sama sekali tidak didasarkan pada hasil riset. Dengan kata lain semua siswa diperlakukan seolah-olah sama. Faktanya, mereka sangat beragam dalam kemampuan intelektual, daya serap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru mereka. Siswa yang bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah dengan fasilitas belajar yang baik, dan oleh karena itu memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran, pedesaan, apalagi daerah pedalaman.
Sebuah penelitian lain di Amerika Serikat yang secara langsung berkaitan dengan hasil studi McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997) di atas dilakukan oleh Lomax, Richard G, West, Mary Maxwell, Harmon, Maryellen C, Viator, Katherine A, Madaus, George F. (1995), yang menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Akibatnya, hasil ujian mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi yang adil dan memadai dari apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui dan mampu lakukan.
Dampak Ujian Nasional (UN)
Hasil studi yang dilakukan Iwan Syahril, seorang mahasiswa pasca sarjana di Teachers College, Universitas Columbia pada tahun 2007 menyebutkan dampak-dampak buruk UAN di Indonesia terhadap siswa dan guru. Pertama, siswa menderita masalah psikologis yang serius. Banyak siswa mengalami kecemasan saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena gagal ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh ujian tidaklah sama satu dengan yang lain. Kecemasan tentunya mempengaruhi performa peserta ujian, yang pada gilirannya berimbas pada hasil ujian. Tekanan psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara ujian nasional. Ujian yang distandardkan, menurut Iwan Syahril mengutip Oak dan Lipton (2007), selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di bawah kondisi yang sama. Siapa bisa menjamin para peserta berada dalam kondisi psikologis yang sama? Bahkan beberapa siswa yang biasanya menduduki rangking atas di sekolah mereka mengalami tekanan psikologis yang berat dan mengalami kegagalan (Iwan Syahril, 2007). Temuan Iwan Syahril ini sama dengan yang diungkapkan oleh Michael Phillips (2007) bahwa tes yang distandardkan menyebabkan kecemasan pada peserta ujian, guru kehilangan energi kreatif mereka dalam mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif karena materi itu tidak akan diujikan. Hasil studi ini persis sama dengan hasil penelitian Smith dan Rottenberg (1991) di atas. Akibatnya, guru mengajar semata-mata demi tes. Materi yang diajarkan hanya materi yang keluar di ujian. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari proses belajar–mengajar yang salah semacam ini?
Dalam konteks inilah pemerintah terkesan tidak konsisten dengan kebijakan pendidikan nasionalnya sendiri. Di satu sisi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang sebenarnya memberi ruang gerak yang lebih luas bagi guru untuk merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran yang kreatif dan intraktif, memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan mengembangkan model pendidikan yang lebih holistik.  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 bab II pasal 3 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, undang-undang menghendaki agar pendidikan sungguh-sungguh mampu membekali siswa dengan kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosi. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah secara tidak sadar telah menghambat tujuan pendidikan yang mulia tersebut melalui pemberlakuan ujian yang distandardkan dan tersentralisasi itu. Kalau akhirnya nasib siswa ditentukan hanya oleh ujian tiga hari dan pada saat yang sama reputasi sekolah dipertaruhkan.
Tampaknya, keputusan untuk terus menyelenggarakan ujian nasional didukung oleh hasil kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005) yang menunjukkan bahwa ujian nasional, sebagai bentuk ujian yang distandardkan, mempunyai pengaruh positif, yaitu 1) siswa lebih giat belajar, 2) guru lebih giat mengajar, dan 3) orangtua lebih memperhatikan proses pembelajaran anak.(Kompas 04/02/ 2008).
Persoalannya adalah, apakah siswa giat belajar sekadar karena takut gagal ujian, atau karena secara sadar ingin berkembang secara intelektual? Apakah guru giat mengajar karena khawatir banyak siswanya tidak lulus ujian, sehingga mengancam reputasi karir dan sekolahnya, atau karena secara sadar ingin mengoptimalkan potensi intelektual siswa-siswanya? Temuan Yong Zhao (2007), Iwan Syahril (2007), maupun Smith dan Rottenberg (1991) menegaskan bahwa ujian yang distandardkan hanya menghasilkan siswa dan guru paranoid yang takut dan cemas menghadapi ujian. Ujian yang distandardkan menghasilkan siswa yang giat belajar atau guru yang giat mengajar semata-mata demi nilai.  Kecurangan-kecurangan yang terjadi di beberapa daerah selama pelaksanaan UAN juga menjadi indikasi bahwa ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah menyebabkan siswa dan guru melupakan tujuan hakiki pendidikan. Pendidikan telah diperlakukan tak ubahnya seperti kegiatan mekanis untuk mencapai tujuan jangka pendek. Bukankah pendidikan semestinya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita idealnya, yakni menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang secara intelektual, emosional, dan sosial, sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Dampak-dampak serius dari penerapan ujian nasional terlihat pemerintah Indonesia seyogyanya mempertimbangkan kembali kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai alat penentu kelulusan siswa, karena. Pertama, UAN telah menyeret siswa dan guru kepada praktik-praktik yang mereduksi makna hakiki pendidikan. Kedua, UAN justru menghambat pencapaian cita-cita luhur pendidikan untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang. Ketiga, ujian yang distandardkan dan tersentralisasi melanggar prinsip keadilan. Pencapaian belajar siswa selama tiga tahun telah dinilai dan diukur dengan tes yang hanya berlangsung selama tiga hari. Apalagi, UAN telah dipakai untuk menentukan kelulusan siswa. Keempat, penentu kebijakan negeri ini telah mengabaikan keberagaman sekolah-sekolah dan siswa-siswanya. Asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa UAN akan mendorong siswa dan guru bekerja lebih giat sehingga berprestasi lebih baik sungguh tidak bisa diterima. Apakah betul ada korelasi positif antara pemberlakuan ujian yang distandardkan secara nasional dengan prestasi siswa.Sebuah studi yang dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data tes NAEP (the National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian di Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut, sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong siswa untuk berprestasi. Ujian yang distandardkan seyogyanya digunakan hanya sebagai alat evaluasi, dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah mengatakan bahwa salah satu fungsi ujian nasional adalah untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia, dan menjamin mutu pendidikan nasional. Fungsi inilah yang mestinya lebih ditekankan. Pemerintah bisa membuat kebijakan-kebijakan maupun program-program pendidikan yang didasarkan pada hasil pemetaan tersebut.
Pemerintah Pusat Alokasikan Dana UN Untuk Riau 8 Miliar                 
Bantuan Ujian Nasional (UN) tahun 2012 untuk Provinsi Riau dari pemerintah pusat Rp8 miliar lebih. Bantuan itu dikelola oleh Panitia Pelaksana UN di Dinas Pendidikan Riau. Demikian dikatakan, Ketua Penanggungjawab UN, Dra Dewi Riyawati Andamari, Selasa (13/3) di ruang kerjanya. Menurutnya, pengelolaan dana bantuan itu sudah disepakati lewat Momerendum of Understanding (MoU) antara panitia UN di seluruh provinsi dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), 9 Maret lalu di Jakarta.   Lebih lanjut, Kabid Pengembangan SMP Disdik Riau ini menjelaskan, Rp8 miliar bantuan itu masing-masing dialokasikan untuk jenjang SD Rp1.828.061.000, SMP dan SMA Rp7.046.179.000. Bantuan ini diperuntukkan untuk sosialisasi, cetak ijazah, cetak LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional) dan monitoring UN.(Utusanriau 13/03/2012)...








Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau