Sabtu, 15 Desember 2012

URGENNYA PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI


 ARIPIANTO
 Maraknya kasus  korupsi menjadi pembahasan yang sepertinya tidak akan pernah habis di negeri ini. Sudah seharusnya kita  sebagai generasi muda penerus bangsa, diharapkan dapat berperan dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan perilaku korupsi sejak dini. Apa lagi jika kita melihat hasil paparan  yang di lakukan oleh Transparency International sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk memerangi korupsi pada tahun 2010 yang menempatkan Indonesia di ranking ke-110 dengan IPK (Indeks Presepsi Korupsi)  2,8 satu kelas dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Gabon serta mengalahkan beberapa negara anggota ASEAN yang memiliki IPK lebih rendah seperti Kamboja, Laos dan Myanmar. Sedangkan di  Asia Tenggara negara ini  menduduki peringkat ke-6 negara terkorup jauh di bawah negara Thailand yang memiliki IPK 3,5 meski menduduki peringkat ke-7. Sebagaimana kita ketahui bahwa korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan melibatkan seluruh unsur baik itu  masyarakat, pemerintah, serta perguruan tinggi dan mahasiswa.  Tentunya kita berharap Perguruan tinggi dan mahasiswa dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi dengan berperan sebagai agen perubahan serta motor pengerak dalam pemberantas penyakit kronis Korupsi. Tentunya Pendidikan Anti Korupsi adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar-mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai anti korupsi. Dalam proses tersebut, Pendidikan Anti Korupsi bukan sekedar media bagi transfer pengetahuan (kognitif), namun juga menekankan pada upaya pembentukan karakter (afektif), dan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik), terhadap perilaku korupsi.
Rencana kebijakan Mendiknas untuk memasukkan kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah/madrasah. Memang baik  dan patut di apresiasi tetapi alangkah baiknya  mengkaji dahulu  sistem yang ada pada saat ini, sistem dan kebijakan dari pemerintah selama satu dasawarsa terakhir ini banyak terjadi kesalahan. Jika ini terlaksana seolah-olah pemerintah hanya menyalahkan anak didik kita yang masih jauh ke depan nanti. Proses ujian nasional juga perlu dikaji ulang, karena kebijakan standar kelulusan ini hanya menilai kelulusan siswa dari aspek kognitif saja masih belum menyentuk afektif, psikomotorik, spirtitual dan Emotional Quoetient (EQ). Untuk memberantas KKN di negeri ini haruslah banyak melibatkan para pakar-pakar yang telah mengembangkan konsep pengembangan diri yang sangat peduli pada keadaan bangsa pada saat ini serta akademisi yang memiliki orientasi penegakan kepada pendidikan humanis dan agamis.
Pengkaji ulang sistem yang ada mulai dari sistem rekruitmen pengangkatan kepala sekolah yang transparan haruslah dilaksanakan, karena kepala sekolah sebagai edukator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator (EMASLIM)  haruslah memiliki prilaku yang baik yaitu jujur dan amanah dalam melaksanakan tugasnya. Jika pemerintah melaksanakan ini, maka pengelolaan pendidikan akan menjadi baik.
Menyikapi Surat Edaran Pendidikan Anti Korupsi
Didalam surat edaran Pendidikan Anti Korupsi di nyatakan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk pada hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa, sehingga harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Dengan dasar hukum dari surat edaran bertanggal 30 Juli 2012 tersebut adalah Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.
Menurut Retno Listyarti, Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI), mengatakan, perlu adanya semangat antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan antikorupsi penting dan harus disampaikan kepada siswa dengan cara yang lebih kreatif.
Dengan beredarnya surat edaran anti korupsi kita harapkan setiap instansi sekolah mau pun perguruan tinggi dapat melakukan upaya-upaya nyata yang berdampak positif dalam pemberantasan korupsi
Kita tentunya berharap dengan adanya kebijakkan Pendidikan anti-korupsi yang dilakukan sejak dini akan dapat menekan tingkat korupsi di negara ini. Mengingat pendidikan adalah hal yang fundamental dalam membentuk karakter manusia dan bisa menentukan tinggi-rendahnya peradaban yang dibentuknya. Pendidikan anti-korupsi ini tentunya dapat dimulai melalui jalan memberikan pengertian tentang segala sesuatu mengenai korupsi termasuk kedalamnya adalah betapa buruknya pengaruh yang dapat diakibatkan dari tindakan tersebut yang disisipkan dalam  dialog-dialog kecil dan tidak terencana. Hal ini bisa memicu dan mengasah sifat-sifat yang diharapkan timbul dari diri para siswa. Sehingga ketika mereka dibebani kepercayaan yang lebih dari itu suatu hari nanti, tanpa merasa dimata-matai pun mereka bisa bersikap jujur. Oleh karena itu, teladan yang baik dari seluruh anggota keluarga seperti ketaatan beribadah, berperilaku sopan sesuai budaya dan bangsa, bertindak jujur dalam perkataan dan perbuatan sangatlah penting ditanamkan sejak usia dini.
Guru Pembangun Karakter Anti-Korupsi
Ada pepatah mengatakan  guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, guru pada waktu dulu kehidupannya masih sangat pas-pasan. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja, gaji guru pada waktu itu kurang memenuhi standar kehidupan, dikarenakan sangat kecilnya gaji atau “tanda jasa” guru. Guru juga lah yang mengenalkan kita dengan huruf dan angka lewat pendidikan formal. Dengan sabar dan ikhlas, seorang guru memberikan pengajaran kepada murid-muridnya agar kelak bisa menjadi orang yang pandai dan bisa menjadi generasi yang bisa merubah bangsa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, seorang guru harus siap berjuang untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan negara kita akan keluar dari keterpurukan bidang pendidikan. Indikator maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya karena pendidikan yang maju.
Sebagai pendidik guru tentunya harus mampu memberi keteladanan yang baik kepada anak didiknya sehingga anak didiknya memiliki  prilaku sopan santun, jujur, dan  selalu berbuat baik kepada semua orang yang selalu dekat dengan dirinya. Selain itu proses pengankatan guru pada saat ini sangat kurang transparan penuh dengan KKN sehingga hasil pengangkatan itu sendiri berdampak pada kualitas guru sebagai pendidik dan pengajar di sekolah, jika hal ini berlangsun terus akankah Pendidikan anti korupsi yang akan dimasukkan pada kurikulum pendidikan itu akan berjalan sebagai mana mestinya. Selain itu, guru dapat memberikan contoh bagaimana mengenalkan prinsip kebaikan, kebenaran dan kesalehan hidup kepada peserta didik ini juga menjadi tugas utama bagi orang tua. Jika orang tua telah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran pada anak sejak dini, maka saat anak tersebut mulai beranjak dewasa nilai-nilai tersebut akan terpatri dalam jiwa mereka. Dengan demikian keluarga turut andil dalam memberi warna budaya sebuah bangsa, termasuk di dalamnya adalah menciptakan budaya anti korupsi. 

Penulis Adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau

Minggu, 09 Desember 2012

RETORIKA DI DUNIA PENDIDIKAN


OLEH : ARIPIANTO
Masalah pendidikan di Indonesia ibarat Benang kusut. Banyak permasalahan yang terjadi di dalam pendidikan kita bukan hanya sistem pendidikannya tetapi pelaku yang ada didalamnya. Lihat saja, Intimidasi orang tua terhadap guru, tawuran antara pelajar, narkoba, free sex , bahkan ada oknum guru yang harusnya jadi panutan melakukan pelanggaran yaitu membiarkan kecurangan yang terjadi saat UN dengan alasan agar para siswanya lulus 100% . sungguh, ini merupkan keadaan yang sangat ironis. Bagaimana seseorang anak didik dapat  mengenali dirinya dengan segala potensi yang ia miliki dan paham dengan apa yang tengah dihadapinya dalam realitas hidup yang nyata ini.
Kita kembali kepada bagaimana merevitalisasi pembangunan sektor pendidikan, republik yang sedang murung dan bersedih hati ini akan menghadapi risiko dan bencana kemanusian  yang dahsyat, berupa tersungkurnya sebagian besar rakyat yang pernah dikandung dan dilahirkan ibu pertiwi ini ke dalam lembah keterbelakangan budaya, peradaban, teknologi, dan seni. Sebagian kecil dari bahaya dan risiko itu telah di ungkapkan oleh Sheridan (1999:39) dalam Suyanto, Dinamika pendidikan Nasional.
Selanjutnya faktor yang tidak kalah penting adalah tenaga pengajar sebagai pembimbing di dunia kependidikan. Banyaknya guru atau dosen yang belum memenuhi persyaratan penentuan aspek input dan proses pendidikan. Jika dilihat dari sektor pendidikan  prioritas dan unggulan bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan SDM. Untuk menghindari risiko tersebut, pemerintah seharusnya menjadikan pembangunan sektor pendidikan sebagai ujung tombak bagi proses kebangkitan kembali bangsa ini. Menurut UNESCO (1998:22) yakin bahwa pendidikan memiliki peran yang unik untuk memberantas kemiskinan.
Life is education and education is life. Itulah yang di katakan oleh Prof. Propert Lodge. Pernyataan Lodge tersebut mengisyaratkan kepada kita semua bahwa, antara pendidikan dengan kehidupan hampir tidak ada bedanya. Keduanya memiliki pengertian yang telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis. Proses pendidikan tidak lain adalah proses bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan dan sebalikny
Pendidikan kita di Mata Unesco
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Posisi indeks ini menurun dibandingkan dengan pada 2010 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-65. Posisi EDI Indonsia pada 2011 lebih rendah dibandingkan dengan Brunei Darussalam yang menempati posisi ke-34 dan Malaysia yang menempati posisi ke-65. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terpuruknya pendidikan di Indonesia yakni rendahnya sarana fisik, kualitas guru, pemerataan kesempatan pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Selain itu, tingginya biaya pendidikan serta rendahnya visi dan moralitas pendidik juga turut menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Sedangkan kondisi rendahnya sarana fisik,kualitas guru, dan kesejahteraan guru, pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Anak-anak kita ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS R,1999(IEA,1999) memperlihatkan bahwa,diantara 38 negara peserta,prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA,ke-34 untuk matematika.Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang di survey di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61,ke-68,ke-73,dan ke-75.
Pasca Reformasi bagaimana Pendidikan Kita??
Adanya sejumlah kebijakan pendidikan yang telah dilahirkan di era reformasi masih menjadi sebuah teori belaka yang tidak mampu dijalankan berhasil dalam implementasi pendidikan yang betul-betul menyentuh kehidupan rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan yang disebut akan diserahkan kepada daerah dalam mengurus dan mengurusi pendidikan terkadang setengah-setengah sehingga hasilnya pun sangat mentah dan tidak melahirkan satu kebijakan hakiki pendidikan. Lebih ironsi lagi, sudah mulai muncul kesan di tengah publik bahwa ketika pendidikan diharapkan mampu dinikmati seluruh lapisan kelas sosial yang disebut pemerataan pendidikan, maka pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau.
Kurikulum pun yang selalu berganti dari setiap pemerintahan pasca reformasi. Seolah, pendidikan menjadi sebuah kelinci percobaan dari setiap fase penguasa tertentu. Pendidikan menjadi tumbal dan korban kepentingan para elit pendidikan di tingkat birokrasi kekuasaan yang terus berupaya mencoba-coba sebuah konsep pendidikan tertentu untuk dijalankan.
Menurut Soedijarto, salah satu kebohongan yang dilakukan pemerintah adalah tidak memenuhi amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. "Pasal tersebut menyiratkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan  yang dijamin oleh konstitusi  setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya. Tapi yang terjadi, selain ada sistem pendidikan nasional, tiap daerah juga mengusahakan sistem pendidikan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, bila amanat kemudian tidak dijalankan maka pemerintah telah menghianati janjinya untuk menjalankan amanat tersebut.  Karena itulah, pendidikan kita perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik.
Apalagi saat ini agar segera diterapkan Sistem Kurikulum Baru yang menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Suyanto mengatakan, setelah kurikulum baru disepakati, guru-guru segera disiapkan untuk menerapkan kurikulum ini mulai tahun ajaran baru 2013. Penyiapan guru sangat penting karena dalam kurikulum baru metode pengajaran mengalami perubahan. Guru tidak lagi berdiri di depan kelas memberikan materi, tetapi dituntut mampu mendorong siswa untuk kreatif dan berani berbicara. di akhir  ke-20, para gubernur Amerika Serikat (AS) menyatakan, perang bukan lagi di medan pertempuran, tetapi di ruang kelas. Pendidikan akan menjadi  motor pengerak paling penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang lebih baik dan sebaliknya, sumber manusia yang buruk akan menghasilkan peradaban yang buruk. Melihat realitas pendidikan pendidikan di negeri ini masih banyak masalah dan jauh dari harapan. Bahkan jauh tertinggal dari Negara-negara lain.







Penulis Adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau