OLEH : ARIPIANTO
Masalah pendidikan di Indonesia
ibarat Benang kusut. Banyak permasalahan yang terjadi di dalam pendidikan kita
bukan hanya sistem pendidikannya tetapi pelaku yang ada didalamnya. Lihat saja,
Intimidasi orang tua terhadap guru, tawuran antara pelajar, narkoba, free
sex , bahkan ada oknum guru yang harusnya jadi panutan melakukan
pelanggaran yaitu membiarkan kecurangan yang terjadi saat UN dengan alasan agar
para siswanya lulus 100% . sungguh, ini merupkan keadaan yang sangat ironis.
Bagaimana seseorang anak didik dapat mengenali dirinya dengan segala potensi yang
ia miliki dan paham dengan apa yang tengah dihadapinya dalam realitas hidup
yang nyata ini.
Kita kembali kepada bagaimana merevitalisasi
pembangunan sektor pendidikan, republik yang sedang murung dan bersedih hati
ini akan menghadapi risiko dan bencana kemanusian yang dahsyat, berupa tersungkurnya sebagian
besar rakyat yang pernah dikandung dan dilahirkan ibu pertiwi ini ke dalam
lembah keterbelakangan budaya, peradaban, teknologi, dan seni. Sebagian kecil
dari bahaya dan risiko itu telah di ungkapkan oleh Sheridan (1999:39) dalam
Suyanto, Dinamika pendidikan Nasional.
Selanjutnya faktor yang tidak kalah
penting adalah tenaga pengajar sebagai pembimbing di dunia kependidikan.
Banyaknya guru atau dosen yang belum memenuhi persyaratan penentuan aspek input
dan proses pendidikan. Jika dilihat dari sektor pendidikan prioritas dan unggulan bagi kebijakan
nasional dalam meningkatkan SDM. Untuk menghindari risiko tersebut, pemerintah
seharusnya menjadikan pembangunan sektor pendidikan sebagai ujung tombak bagi
proses kebangkitan kembali bangsa ini. Menurut UNESCO (1998:22) yakin bahwa
pendidikan memiliki peran yang unik untuk memberantas kemiskinan.
Life is
education and education is life. Itulah yang di katakan oleh Prof. Propert Lodge. Pernyataan Lodge tersebut mengisyaratkan
kepada kita semua bahwa, antara pendidikan dengan
kehidupan hampir tidak ada bedanya. Keduanya memiliki pengertian yang telah
menyatu dalam sebuah kerangka filosofis. Proses pendidikan tidak lain adalah
proses bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan dan sebalikny
Pendidikan kita di Mata Unesco
Berdasarkan
data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden
Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang
diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau
education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934.
Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Posisi
indeks ini menurun dibandingkan dengan pada 2010 yang menempatkan Indonesia
pada peringkat ke-65. Posisi EDI Indonsia pada 2011 lebih rendah dibandingkan
dengan Brunei Darussalam yang menempati posisi ke-34 dan Malaysia yang
menempati posisi ke-65. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terpuruknya
pendidikan di Indonesia yakni rendahnya sarana fisik, kualitas guru, pemerataan
kesempatan pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
Selain itu, tingginya biaya pendidikan serta rendahnya visi dan moralitas
pendidik juga turut menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Sedangkan
kondisi rendahnya sarana fisik,kualitas guru, dan kesejahteraan guru,
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Anak-anak kita ternyata
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain
itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS R,1999(IEA,1999) memperlihatkan bahwa,diantara 38 negara
peserta,prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA,ke-34 untuk matematika.Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang di survey di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61,ke-68,ke-73,dan
ke-75.
Pasca Reformasi
bagaimana Pendidikan Kita??
Adanya sejumlah kebijakan pendidikan
yang telah dilahirkan di era reformasi masih menjadi sebuah teori belaka yang
tidak mampu dijalankan berhasil dalam implementasi pendidikan yang betul-betul
menyentuh kehidupan rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan yang disebut akan
diserahkan kepada daerah dalam mengurus dan mengurusi pendidikan terkadang
setengah-setengah sehingga hasilnya pun sangat mentah dan tidak melahirkan satu
kebijakan hakiki pendidikan. Lebih ironsi lagi, sudah mulai muncul kesan di
tengah publik bahwa ketika pendidikan diharapkan mampu dinikmati seluruh
lapisan kelas sosial yang disebut pemerataan pendidikan, maka pendidikan
menjadi mahal dan tidak terjangkau.
Kurikulum pun yang selalu berganti
dari setiap pemerintahan pasca reformasi. Seolah, pendidikan menjadi sebuah
kelinci percobaan dari setiap fase penguasa tertentu. Pendidikan menjadi tumbal
dan korban kepentingan para elit pendidikan di tingkat birokrasi kekuasaan yang
terus berupaya mencoba-coba sebuah konsep pendidikan tertentu untuk dijalankan.
Menurut Soedijarto, salah satu kebohongan yang dilakukan
pemerintah adalah tidak memenuhi amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. "Pasal
tersebut menyiratkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan pendidikan yang dijamin
oleh konstitusi setiap peserta didik
berhak mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya. Tapi yang terjadi,
selain ada sistem pendidikan nasional, tiap daerah juga mengusahakan sistem
pendidikan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, bila amanat kemudian
tidak dijalankan maka pemerintah telah menghianati janjinya untuk menjalankan
amanat tersebut. Karena itulah,
pendidikan kita perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki
Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik,
dan spiritualistik.
Apalagi
saat ini agar segera diterapkan Sistem Kurikulum Baru yang menurut Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Suyanto mengatakan, setelah kurikulum
baru disepakati, guru-guru segera disiapkan untuk menerapkan kurikulum ini
mulai tahun ajaran baru 2013. Penyiapan guru sangat penting karena dalam
kurikulum baru metode pengajaran mengalami perubahan. Guru tidak lagi berdiri
di depan kelas memberikan materi, tetapi dituntut mampu mendorong siswa untuk
kreatif dan berani berbicara. di akhir ke-20, para gubernur Amerika Serikat (AS)
menyatakan, perang bukan lagi di medan pertempuran, tetapi di ruang kelas. Pendidikan akan menjadi motor pengerak paling penting dan sangat
strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi
terbentuknya peradaban yang lebih baik dan sebaliknya, sumber manusia yang
buruk akan menghasilkan peradaban yang buruk. Melihat realitas pendidikan
pendidikan di negeri ini masih banyak masalah dan jauh dari harapan. Bahkan
jauh tertinggal dari Negara-negara lain.
Penulis Adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru
Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar