OLEH : ARIPIANTO
Tinggal menghitung hari ujian nasional(UN) akan di laksanakan di
seluruh indonesia, ini menjadi momok bagi seluruh SD/sederajat, SMP/ sederajat,
SMA atau SMK bahkan juga guru di sekolah yang bersangkutan. Ada yang bahagia
karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil yang bersedih karena tidak
berhasil lulus. Yang lulus belum berarti mereka lebih pintar daripada yang
tidak lulus dan begitu pula sebaliknya yang tidak lulus tidak mengindikasikan
bahwa mereka lebih bodoh. Pemerintah melalui
Kemendikbud telah mengeluarkan peraturan terbaru tentang Ujian Nasional 2012
yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 59 Tahun 2011 tentang
Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan
Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional. Badan Standar Nasional
Pendidikan selaku penyelenggara Ujian Nasional telah menerbitkan
Peraturan Nomor: 0012/P/BSNP/XII/2011 tentang Prosedur Operasi Standar Ujian
Nasional Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah Dasar Luar Biasa Tahun
Pelajaran 2011/2012 dan Peraturan Nomor: 013/P/BSNP/XII/2011 tentang
Kisi-Kisi Ujian Nasional untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun
Pelajaran 2011/2012. Sementara itu, untuk mengedukasi semua
pihak yang berkepentingan dengan Ujian Nasional, Kemendikbud dan
BNSP telah bekerja sama menerbitkan Buku Tanya Jawab tentang Ujian
Nasional dan Materi Presentasi Sosialisasi Ujian Nasional
2012...
Bercerita tentang ujian yang
mengandalkan sistem pilihan ganda sangat memungkinkan segala sesuatunya
terjadi. Ada unsur spekulasi dan untung-untungan di dalam menjawab soal-soal
ujian. Kreatifitas para siswa tidak muncul. Kecurangan juga sangat dimungkinkan
terjadi karena jawaban-jawaban hanya disimbolkan dengan alfabet seperti “A”,
“B”, “C”, “D’ dan “E”. Dengan bantuan teknologi jawaban-jawaban dapat
ditransferkan oleh seseorang dengan cepat kepada para siswa yang
sedang mengikuti ujian. Sebagai buktinya kita membaca di surat kabar dan
menonton di televisi bahwa ada siswa yang menangis tidak lulus karena
mencontek kunci jawaban yang salah. Suatu ironi
menangisi ’kebodohan’ mental. Memang tidak selalu hal-hal negatif yang
mewarnai Ujian Nasional. Pemerintah sendiri mengklaim bahwa dengan sistem UN
seperti saat ini para siswa menjadi lebih rajin belajar. Pada satu
sisi pernyataan pemerintah ini benar. Sebagian dari siswa menjadi
lebih rajin dalam belajar atau mungkin ‘belajar’? Mengapa ‘belajar’? Ini
diakibatkan belajar dipersempit maknanya hanya dengan membahas soal-soal.
Padahal belajar lebih dari itu. Belajar merupakan proses panjang
yang diakhiri dengan evaluasi dan bukan hanya mempelajari soal-soal ujian.
Ada satu hal lagi yang yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak semua
siswa menjadi lebih rajin dalam persiapan
menghadapi Ujian Nasional (UN). Pemerintah mungkin lupa akan adanya
kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat
beragam. Menurut pakar psikolog,
setiap siswa memerlukan perlakuan yang berbeda termasuk dalam hal cara belajar.
Ada siswa yang ’diancam’ akan lebih giat dan rajin belajar,
tetapi tidak semua menjadi lebih rajin hanya dengan ancaman. Ada yang
perlu penyadaran agar lebih rajin. Singkat kata tidak mungkin membuat siswa
siswi kita yang jumlahnya ribuan tersebut dengan satu sistem dan metode saja
walaupun metode tersebut nampaknya berhasil. Oleh karena itu pemerintah
untuk lebih instrospeksi diri dan melihat dampak negatifnya yang sudah banyak
terbukti dan bukan hanya mempertahankan argumen manfaatnya saja.
Belajar dari Pengalaman
Bangsa lain
Kekhawatiran
dan keprihatinan akan dampak buruk ujian yang distandardkan dan tersentralisasi
telah banyak disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Dampak buruk ujian yang
distandardkan juga disadari dan teramati di negara seperti Cina, misalnya. Yong
Zhao, seorang profesor bidang pendidikan di Michigan State University,
dalam artikelnya “China and the Whole Child” yang dimuat dalam majalah
Educational Leadership (Mei 2007), mengulas tantangan-tantangan dalam dunia
pendidikan yang dihadapi Cina. Menurut Yong Zhao persoalan yang muncul dalam
dunia pendidikan Negeri Tirai Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni
pemberlakuan sistem ujian yang distandardkan (standardized testing)
secara nasional, yang kemudian menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi
pada tes (test-oriented education)...
Kendati
artikel tulisan Yong Zhao tersebut sama sekali tidak menyinggung perihal
praktik tak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional sebagaimana terjadi di
Indonesia, dampak-dampak buruk tersebut di atas mengisyaratkan bahwa para guru
di Cina juga mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang sama dengan para guru di
Indonesia terkait dengan tingkat kelulusan para siswa, sebab ujian nasional di
Cina juga menentukan kelulusan siswa. Di
negara maju seperti Amerika Serikat pun, pemberlakuan ujian yang distandardkan
juga banyak ditentang sebab dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa,
serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas bawah yang mempunyai keterbatasan
untuk mendapatkan sumber-sumber belajar. Dalam disertasinya, Dale E.
Margheim (2001), seorang mahasiswa program doktoral di Virginia Polytechnic Institute and
State University mengungkapkan
sebuah contoh dampak buruk standardized
tests yang barangkali juga
terjadi di Indonesia, dan negara-negara lain yang menerapkannya. Natalie J.
Martinez, seorang siswi kelas XII SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta
musik gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan melakukan
perhitungan matematis dengan bilangan pecahan, meskipun Natalie telah dinyatakan
menerima beasiswa untuk belajar musik di Universitas Incarnate Word...(Kompas
12/03/2009)
Dale
E. Margheim (2001) juga menunjukkan satu bentuk ketidakadilan lain yang
disebabkan oleh ujian yang distandardkan. McDonnell, McLaughlin, and Morison
(1997), yang ia kutip dalam bagian disertasinya, menyebutkan bahwa sebagian
besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di dalamnya
ujian yang distandardkan, didasarkan pada premis bahwa semua siswa mampu
mencapai standard akademik tinggi meskipun presmis tersebut sama sekali tidak
didasarkan pada hasil riset. Dengan kata lain semua siswa diperlakukan
seolah-olah sama. Faktanya, mereka sangat beragam dalam kemampuan intelektual,
daya serap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain
sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar,
akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru
mereka. Siswa yang bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar
untuk mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang
ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah dengan
fasilitas belajar yang baik, dan oleh karena itu memiliki peluang lebih besar
untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran, pedesaan,
apalagi daerah pedalaman.
Sebuah
penelitian lain di Amerika Serikat yang secara langsung berkaitan dengan hasil
studi McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997) di atas dilakukan oleh Lomax,
Richard G, West, Mary Maxwell, Harmon, Maryellen C, Viator, Katherine A,
Madaus, George F. (1995), yang menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan
merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi
dan akses terhadap pendidikan sebab ujian yang distandardkan selalu
merefleksikan kultur mayoritas. Akibatnya, hasil ujian mereka tidak bisa
dianggap sebagai representasi yang adil dan memadai dari apa yang
sungguh-sungguh mereka ketahui dan mampu lakukan.
Dampak Ujian Nasional
(UN)
Hasil
studi yang dilakukan Iwan Syahril, seorang mahasiswa pasca sarjana di Teachers
College, Universitas Columbia pada tahun 2007 menyebutkan dampak-dampak buruk
UAN di Indonesia terhadap siswa dan guru. Pertama, siswa menderita masalah
psikologis yang serius. Banyak siswa mengalami kecemasan saat ujian, dan banyak
yang merasa frustasi karena gagal ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh
ujian tidaklah sama satu dengan yang lain. Kecemasan tentunya mempengaruhi
performa peserta ujian, yang pada gilirannya berimbas pada hasil ujian. Tekanan
psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara ujian
nasional. Ujian yang distandardkan, menurut Iwan Syahril mengutip Oak dan
Lipton (2007), selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di
bawah kondisi yang sama. Siapa bisa menjamin para peserta berada dalam kondisi
psikologis yang sama? Bahkan beberapa siswa yang biasanya menduduki rangking
atas di sekolah mereka mengalami tekanan psikologis yang berat dan mengalami
kegagalan (Iwan Syahril, 2007). Temuan Iwan Syahril ini sama dengan yang
diungkapkan oleh Michael Phillips (2007) bahwa tes yang distandardkan menyebabkan
kecemasan pada peserta ujian, guru kehilangan energi kreatif mereka dalam
mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif
dan inovatif karena materi itu tidak akan diujikan. Hasil studi ini persis sama
dengan hasil penelitian Smith dan Rottenberg (1991) di atas. Akibatnya, guru
mengajar semata-mata demi tes. Materi yang diajarkan hanya materi yang keluar
di ujian. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari proses belajar–mengajar yang
salah semacam ini?
Dalam
konteks inilah pemerintah terkesan tidak konsisten dengan kebijakan pendidikan
nasionalnya sendiri. Di satu sisi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang berlaku sekarang sebenarnya memberi ruang gerak yang lebih luas bagi guru
untuk merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran yang kreatif dan intraktif,
memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi, dan mengembangkan model pendidikan yang lebih holistik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 bab II pasal 3 dengan tegas
menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, undang-undang
menghendaki agar pendidikan sungguh-sungguh mampu membekali siswa dengan
kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosi. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah
secara tidak sadar telah menghambat tujuan pendidikan yang mulia tersebut
melalui pemberlakuan ujian yang distandardkan dan tersentralisasi itu. Kalau
akhirnya nasib siswa ditentukan hanya oleh ujian tiga hari dan pada saat yang
sama reputasi sekolah dipertaruhkan.
Tampaknya,
keputusan untuk terus menyelenggarakan ujian nasional didukung oleh hasil
kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan
Indonesia (2005) yang menunjukkan bahwa ujian nasional, sebagai bentuk ujian
yang distandardkan, mempunyai pengaruh positif, yaitu 1) siswa lebih giat
belajar, 2) guru lebih giat mengajar, dan 3) orangtua lebih memperhatikan
proses pembelajaran anak.(Kompas 04/02/ 2008).
Persoalannya
adalah, apakah siswa giat belajar sekadar karena takut gagal ujian, atau karena
secara sadar ingin berkembang secara intelektual? Apakah guru giat mengajar
karena khawatir banyak siswanya tidak lulus ujian, sehingga mengancam reputasi
karir dan sekolahnya, atau karena secara sadar ingin mengoptimalkan potensi
intelektual siswa-siswanya? Temuan Yong Zhao (2007), Iwan Syahril (2007),
maupun Smith dan Rottenberg (1991) menegaskan bahwa ujian yang distandardkan
hanya menghasilkan siswa dan guru paranoid yang takut dan cemas menghadapi
ujian. Ujian yang distandardkan menghasilkan siswa yang giat belajar atau guru
yang giat mengajar semata-mata demi nilai. Kecurangan-kecurangan yang
terjadi di beberapa daerah selama pelaksanaan UAN juga menjadi indikasi bahwa
ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah menyebabkan siswa dan guru
melupakan tujuan hakiki pendidikan. Pendidikan telah diperlakukan tak ubahnya
seperti kegiatan mekanis untuk mencapai tujuan jangka pendek. Bukankah
pendidikan semestinya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita idealnya, yakni
menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang secara intelektual,
emosional, dan sosial, sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Dampak-dampak
serius dari penerapan ujian nasional terlihat pemerintah Indonesia seyogyanya
mempertimbangkan kembali kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai alat penentu
kelulusan siswa, karena. Pertama, UAN telah menyeret siswa dan guru kepada
praktik-praktik yang mereduksi makna hakiki pendidikan. Kedua, UAN justru
menghambat pencapaian cita-cita luhur pendidikan untuk menghasilkan
pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang. Ketiga, ujian yang distandardkan dan
tersentralisasi melanggar prinsip keadilan. Pencapaian belajar siswa selama
tiga tahun telah dinilai dan diukur dengan tes yang hanya berlangsung selama
tiga hari. Apalagi, UAN telah dipakai untuk menentukan kelulusan siswa.
Keempat, penentu kebijakan negeri ini telah mengabaikan keberagaman sekolah-sekolah
dan siswa-siswanya. Asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa UAN akan mendorong
siswa dan guru bekerja lebih giat sehingga berprestasi lebih baik sungguh tidak
bisa diterima. Apakah betul ada korelasi positif antara pemberlakuan ujian yang
distandardkan secara nasional dengan prestasi siswa.Sebuah studi yang dilakukan
Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data tes NAEP
(the National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian di
Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut,
sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa
tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan sekolah
benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian nasional
bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong siswa untuk
berprestasi. Ujian yang distandardkan seyogyanya digunakan hanya sebagai alat
evaluasi, dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah mengatakan bahwa
salah satu fungsi ujian nasional adalah untuk memetakan kualitas pendidikan di
Indonesia, dan menjamin mutu pendidikan nasional. Fungsi inilah yang mestinya
lebih ditekankan. Pemerintah bisa membuat kebijakan-kebijakan maupun
program-program pendidikan yang didasarkan pada hasil pemetaan tersebut.
Pemerintah
Pusat Alokasikan Dana UN Untuk Riau 8 Miliar
Bantuan
Ujian Nasional (UN) tahun 2012 untuk Provinsi Riau dari pemerintah pusat Rp8
miliar lebih. Bantuan itu dikelola oleh Panitia Pelaksana UN di Dinas
Pendidikan Riau. Demikian dikatakan, Ketua Penanggungjawab
UN, Dra Dewi Riyawati Andamari, Selasa (13/3) di ruang kerjanya. Menurutnya,
pengelolaan dana bantuan itu sudah disepakati lewat Momerendum of Understanding
(MoU) antara panitia UN di seluruh provinsi dengan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), 9 Maret lalu di Jakarta. Lebih lanjut, Kabid Pengembangan SMP Disdik Riau ini
menjelaskan, Rp8 miliar bantuan itu masing-masing dialokasikan untuk jenjang SD
Rp1.828.061.000, SMP dan SMA Rp7.046.179.000. Bantuan ini diperuntukkan untuk
sosialisasi, cetak ijazah, cetak LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional) dan
monitoring UN.(Utusanriau 13/03/2012)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar