Jumat, 05 Oktober 2012

POTRET DEKADENSI KARAKTER BANGSA “Mari Kita Kembali Mengingat Pesan Bung Karno”


OLEH : ARIPIANTO
Maraknya tawuran, kasus bullying, dan fenomena kriminalitas di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, menimbulkan sebuah tanda tanya besar akan realisasi fungsi Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata berbanding terbalik dengan berbagai realitas yang ada. kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiarisme dalam ujian, Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral. Hasil survei Transparency International yang merupakan organisasi internasional anti korupsi menyebutkan bahwa kepolisian, peradilan, dan parlemen, masih menududuki skor tertinggi dalam nilai indeks korupsi.  Ketiga lembaga tersebut tentunya diduduki oleh orang-orang yang berlatar pendidikan memadai. Senada dengan TI, hasil riset tahun 2004, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan kepala sekolah bersama komite sekolah, dan pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan.
Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhenika Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi sekarang. Akan tetapi semua proses yang terjadi saat ini boleh jadi memberikan pendidikan yang berarti bagi masyarakat Indonesia dalam mencari jati diri. Menurut Sarjono Djatiman, bangsa Indonesia baru dalam proses menjadi Indonesia. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak nation Indonesia. Nation Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Inilah yang menjadi harapan pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki jati diri.  Jika Pendiri bangsa ini (the founding fathers) masih sempat menyaksikan kondisi bangsa saat ini tentu mereka akan sangat sedih dan menyesal. Bangsa Indonesia yang merdeka dengan mengorbankan segenap harta, jiwa dan raga harus menjadi bangsa yang tidak memiliki karakter (izzah), dan kehilangan prinsip kebangsaan. Rentetannya peristiwa kerusuhan yang diikuti berbagai gejolak yang terjadi (khususnya di Aceh, Papua, Sulawesi Selatan) akhir-akhir ini, merupakan fenomena yang dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Terjadinya fenomena ini disebabkan karena masyarakat Indonesia sedang mengalami Crisis Nation Character.Karakter yang  merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan  karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter manusia Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
Bung Karno pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (.H. Soemarno Soedarsono, 2009: sampul). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia global. Di dalam bangsa yang kuat, terdapat karakter yang kuat. Demikianlah pemeo yang menggambarkan betapa karakter merupakan suatu aset yang tak ternilai harganya dalam membangun suatu negara dan bangsa. Oleh karena itu, character building merupakan suatu keniscayaan apabila kita di Indonesia ingin bermetamorfosa dari sebuah negara dan bangsa yang sering dirundung masalah (seperti korupsi) menjadi bangsa yang besar di pentas dunia.  Karakter yang ingin dibangun oleh bangsa Indonesia sudah jelas yaitu manusia yang Pancasilais. Hal ini sesuai dengan fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup, yaitu prisnip-prinsip dasar yang diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pedoman dalam menghadapi persoalan kehidupan. Sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pancasila memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum). Karakter atau nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang demikian itu jelas sebagai karakter yang unggul dan kompetitif. Tetapi sayangnya nilai-nilai luhur itu “seolah sirna” ditelan oleh ganasnya pragmatisme, sekularisme dan materialisme. Secara filosofis kehidupan manusia lebih mengutamakan paradigma “memiliki” daripada “menjadi” (Erich From, 1987). Pendidikan pun larut dengan setting  kekinian yang serba instan dan lupa pada esensinya sebagai investasi peradaban masa depan. Benarkah kehidupan bangsa Indonesia sedang mengarah kepada situasi yang pernah diperingatkan Bung Karno bahwa apabila kita gagal membangun karakter bangsa, maka kita akan menjadi bangsa kuli, bangsa yang tidak memiliki kemandirian dan akan didekte oleh bangsa lain !!

Pendidikan Karakter yang gagal
Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional). Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Dalam hal ini pendidikan berperan penting membangun persamaan persefsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan gagal dalam membangun persefsi antar komunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya karakter bangsa. Bahkan Menurut mantan Presiden Amerika Serikat  Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat) sedangkan Menurut Dr.Avip Saefullah, drg. M.Pd menyatakan Lembaga pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan. Yang terbangun saat ini justru perilaku elite negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. Celakanya, model perilaku paradoksal inilah yang berkembang menjadi spirit nasional dan terkesan menjadi karakter bangsa. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mampu menegakkan nilai-nilai demokratis dan menyiapkan masyarakat yang kritis dengan basis pengetahuan dan kompetensi. Akumulasi dari perilaku itu kemudian juga membuat kemunduran bangsa, baik dari segi pembangunan ekonomi maupun pengembangan kualitas sumber daya manusianya (Diskusi FORMOPI 17/3/2000) .
Kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa disebabkan banyak faktor. Karena ada banyak komponen dalam pendidikan seperti pendidik, peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional. Keseriusan pemerintah harus dibuktikan dengan aksi nyata yaitu dengan memberikan anggaran pendidikan yang memadai, meningkatkan kesejateraan pendidik serta memberikan pengelolaan pendidikan kepada yang ahli di bidangnya dalam arti pendidikan jangan dijadikan sebagai komunitas kepentingan politik. Selain dari itu pendidik (guru) juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam membangun mentalitas dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, pendidik harus sadar bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam pembentukan dan pembangaunan generasi penerus bangsa. 

Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru Dan 
Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau


Tidak ada komentar:

Posting Komentar