Jumat, 05 Oktober 2012

MISKIN PENDIDIKAN, KAYA SUMBER DAYA ALAM


OLEH : ARIPIANTO
 Pada tahun ini menjadi tahun yang sangat suram bagi dunia pendidikan Indonesia. Belum lepas dari ingatan kita,  di harian kompas  tanggal 3/3/2011 menginformasikan  menurunnya peringkat indeks pembangunan pendidikan  (IPK) Indonesia dari peringkat 65 pada tahun lalu menjadi 69. Sumbernya berasal dari Unesco berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitoring Report  2011.
 Di bulan November 2011  ini, UNDP   mengumumkan Human Development Index –HDI-2011  (Indeks Pembangunan Manusia-IPM).  Indonesia  berada pada peringkat 124  dari 187 negara.  Dengan Indeks 0,617. Data UNDP juga menunjukkan posisi Indonesia menempati urutan ke enam di lingkungan negara-negara Asean.  Urutan pertama  diduduki oleh Singapura (peringkat ke-26, indeks 0,866), kedua Brunei (peringkat ke-33,indeks 0,866), ketiga Malysia (peringkat ke- 61,indeks 0,761), ke empat Thailand (peringkat ke 103, indeks 0,682), ke lima (peringkat ke-112,indeks 0,644). IPM adalah indeks pembangunan manusia yang dihitung menggunakan berbagai indakator termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan Indonesia sendiri pada  indeks 0,584  . Peringkat ini merosot dari tahun lalu yang menduduki  peringkat  ke-111 dari 182 negara.
Sekalipun menuai protes dari pihak pemerintah, data ini sebaiknya dipakai sebagai koreksi atas tata kelolah dunia pendidikan di Indonesia.
Masalah Pendidikan
Rendahnya indeks Pembangunan  Pendidikan (IPK)  dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih menggambarkan  dunia pendidikan masih dilanda berbagai persoalan-persoalan yang komplek. Persoalan-persoalanya bekisar di seputaran kebijakan  pemerintah, gonta ganti kurikulum,  minimim nya kemampuan pendidik dan  peserta didik , proses belajar-mengajar , serta minimnya sarana dan prasarana yang memadai serta hasil atau mutu pendidikan.  Ditambah lagi yang menjadi sorotan tindakan kekerasan yang dilakukan peserta didik ditingkat sekolah sampai perguruan tinggi. 
Persoalan lainnya terkait kebijakan pendidikan yang oleh pemerintah mengalokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN, namun pada kenyataannya hanya “dibibir”. Realisasinya harus melalui keputusan mahkamah konstitusi nomor 13/PUU-VI/2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 Persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Lebih spesifik pengamat pendidikan dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. Arief Rachman, menilai pendidikan di Indonesia masih miskin proses. Kalangan pendidik dan pengajar selama ini hanya memusatkan perhatian pada orientasi hasil, bukan proses pembelajaran. “Ini kritik besar terhadap dunia pendidikan kita. Harus ada rekonstruksi terhadap proses pembelajaran “... (tempo)
Rendahnya mutu sumber daya manusia merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan secara nasional. Begitu juga halnya rendahnya mutu sumber daya manusia juga menjadi batu sandungan dalam  menghadang arus globalisasi yang mendunia saat ini,  Salah satu ciri  “Globalisasi”   adalah  munculnya era persaingan mutu.  Jika bangsa ingin  berhadapan dengan percaturan globalisasi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata sumber daya manusia melalui sektor pendidikan.  
Paradoks Pendidikan
Ungkapan sederhana untuk  menggambarkan ke kinian pendidikan di Indonesia  adalah pendidikan belum menjadi “panglima di negaranya sendiri”.  Dalam hal ini, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, tetapi kekayaan sumber daya alam yang melimpah itu belum mampu mengangkat taraf kesejahteraan rakyat Indonesia, Sebaliknya beberapa negara yang sangat miskin sumber daya alam dapat berkembang menjadi negara-negara yang  maju.
Secara empiris pun demikian. Dalam buku  Escaping The Resources Curse digambarkan kondisi negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. “Ada fenomena menarik yang oleh ilmuwan sosial disebut sebagai “kutukan sumberdaya alam” (Auty 1993). Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil. Secara paradoks, meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi minyak serta sumberdaya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi penghambat daripada menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Di sisi lain, kekurangan sumberdaya alam ternyata belum terbukti menjadi penghalang terhadap kesuksesan ekonomi. Contohnya—yakni Macan Asia (Hong Kong, Korea, Singapura, dan Taiwan)—semuanya sukses memiliki industri ekspor yang maju berbasiskan barang-barang manufaktur dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, padahal tidak memiliki cadangan sumberdaya alam besar...(2008:1)
Sejumlah studi menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah bentuk investasi yang paling dilupakan di negara-negara kaya sumberdaya alam (Gylfason 2001). Ketika banyak negara mulai bergantung pada kekayaan sumberdaya alam, negara-negara itu tampaknya melupakan kebutuhan tenaga kerja yang terdiversifikasi dan punya keahlian, yang sebenarnya bisa mendukung sektor-sektor ekonomi lainnya begitu kekayaan sumberdaya alam mengering...(2008:12)
Sekarang tinggal kesadaran kita berbangsa dan bernegara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam untuk  melakukan  perubahan-perubahan  melalui instrument pendidikan menuju kesejahteraan sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagimana pendidikan  itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang dialami oleh orang yang belajar (learners).  Education for us is a process which changes the learners (Bloom, Madaus, & hastings, 1981: 5).
 
 Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau




Tidak ada komentar:

Posting Komentar