OLEH : ARIPIANTO
Pada tahun ini menjadi tahun yang sangat
suram bagi dunia pendidikan Indonesia. Belum lepas dari ingatan kita, di harian kompas tanggal 3/3/2011 menginformasikan menurunnya peringkat indeks pembangunan
pendidikan (IPK) Indonesia dari peringkat
65 pada tahun lalu menjadi 69. Sumbernya berasal dari Unesco berdasarkan data
dalam Education for All (EFA)
Global Monitoring Report 2011.
Di bulan November 2011 ini, UNDP
mengumumkan Human Development Index –HDI-2011 (Indeks Pembangunan Manusia-IPM). Indonesia
berada pada peringkat 124 dari
187 negara. Dengan Indeks 0,617. Data UNDP juga
menunjukkan posisi Indonesia menempati urutan ke enam di lingkungan
negara-negara Asean. Urutan pertama diduduki oleh Singapura (peringkat ke-26, indeks
0,866), kedua Brunei (peringkat ke-33,indeks 0,866), ketiga Malysia (peringkat
ke- 61,indeks 0,761), ke empat Thailand (peringkat ke 103, indeks 0,682), ke
lima (peringkat ke-112,indeks 0,644). IPM
adalah indeks pembangunan manusia yang dihitung menggunakan berbagai indakator
termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan Indonesia sendiri pada indeks 0,584 . Peringkat ini merosot dari tahun lalu yang
menduduki peringkat ke-111 dari 182 negara.
Sekalipun
menuai protes dari pihak pemerintah, data ini sebaiknya dipakai sebagai koreksi
atas tata kelolah dunia pendidikan di Indonesia.
Masalah
Pendidikan
Rendahnya indeks Pembangunan
Pendidikan (IPK) dan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih menggambarkan dunia pendidikan masih dilanda berbagai
persoalan-persoalan yang komplek. Persoalan-persoalanya bekisar di seputaran
kebijakan pemerintah, gonta ganti
kurikulum, minimim nya kemampuan
pendidik dan peserta didik , proses
belajar-mengajar , serta minimnya sarana dan prasarana yang memadai serta hasil
atau mutu pendidikan. Ditambah lagi yang
menjadi sorotan tindakan kekerasan yang dilakukan peserta didik ditingkat
sekolah sampai perguruan tinggi.
Persoalan lainnya terkait kebijakan pendidikan yang oleh
pemerintah mengalokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN, namun pada
kenyataannya hanya “dibibir”. Realisasinya harus melalui keputusan mahkamah konstitusi nomor
13/PUU-VI/2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 Persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaran pendidikan nasional.
Lebih
spesifik pengamat pendidikan dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Prof.
Arief Rachman, menilai pendidikan di Indonesia masih miskin proses.
Kalangan pendidik dan pengajar selama ini hanya memusatkan perhatian pada
orientasi hasil, bukan proses pembelajaran. “Ini kritik besar terhadap dunia
pendidikan kita. Harus ada rekonstruksi terhadap proses pembelajaran “...
(tempo)
Rendahnya mutu sumber daya manusia
merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan secara nasional. Begitu
juga halnya rendahnya mutu sumber daya manusia juga menjadi batu sandungan
dalam menghadang arus globalisasi yang
mendunia saat ini, Salah satu ciri “Globalisasi” adalah
munculnya era persaingan mutu.
Jika bangsa ingin berhadapan
dengan percaturan globalisasi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menata sumber daya manusia melalui sektor pendidikan.
Paradoks
Pendidikan
Ungkapan sederhana untuk
menggambarkan ke kinian pendidikan di Indonesia adalah pendidikan belum menjadi “panglima di
negaranya sendiri”. Dalam
hal ini, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah,
tetapi kekayaan sumber daya alam yang melimpah itu belum mampu mengangkat taraf
kesejahteraan rakyat Indonesia, Sebaliknya beberapa negara yang sangat miskin
sumber daya alam dapat berkembang menjadi negara-negara yang maju.
Secara empiris pun demikian. Dalam buku Escaping The Resources Curse digambarkan
kondisi negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. “Ada fenomena
menarik yang oleh ilmuwan sosial disebut sebagai “kutukan sumberdaya alam”
(Auty 1993). Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti
minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good
governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya
alamnya lebih kecil. Secara paradoks, meskipun muncul harapan besar akan
munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi
minyak serta sumberdaya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi
penghambat daripada menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Di
sisi lain, kekurangan sumberdaya alam ternyata belum terbukti menjadi
penghalang terhadap kesuksesan ekonomi. Contohnya—yakni Macan Asia (Hong Kong,
Korea, Singapura, dan Taiwan)—semuanya sukses memiliki industri ekspor yang
maju berbasiskan barang-barang manufaktur dan pertumbuhan ekonomi yang pesat,
padahal tidak memiliki cadangan sumberdaya alam besar...(2008:1)
Sejumlah studi menunjukkan bahwa
pendidikan adalah sebuah bentuk investasi yang paling dilupakan di
negara-negara kaya sumberdaya alam (Gylfason 2001). Ketika banyak negara mulai
bergantung pada kekayaan sumberdaya alam, negara-negara itu tampaknya melupakan
kebutuhan tenaga kerja yang terdiversifikasi dan punya keahlian, yang
sebenarnya bisa mendukung sektor-sektor ekonomi lainnya begitu kekayaan
sumberdaya alam mengering...(2008:12)
Sekarang
tinggal kesadaran kita berbangsa dan bernegara yang mempunyai kekayaan sumber
daya alam untuk melakukan perubahan-perubahan melalui instrument pendidikan menuju
kesejahteraan sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagimana
pendidikan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang dialami oleh orang
yang belajar (learners). Education
for us is a process which changes the learners (Bloom, Madaus, & hastings,
1981: 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar