OLEH : ARIPIANTO
Beberapa
bulan yang lalu di media online marak dibicarakan Negara autopilot, dikatakan Indonesia kini bukan cuma negeri
autopilot, melainkan negeri tanpa pilot.Baca saja di rakyat merdeka 31 januari
2012 di beritakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata bukanlah
pilot yang sebenarnya. Pasalnya, selama tujuh tahun memerintah, dia sama sekali
tidak menunjukkan kualitas seorang pemimpin yang mampu membawa Indonesia
menjadi negara besar dan rakyatnya sejahtera sesuai amanat konstitusi. Dalam
sebuah diskusi menghadirkan ahli Timur Tengah Zuhairi Misrawi, mantan anggota
DPR Muhammad Misbakhun, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, dan pakar
hukum pidana/pencucian uang Yenti Garnasih.
Yang bertemakan”Menyelamatkan Negeri Auto Pilot,
Negara dalam Bahaya" yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa
(31/1).
Menurut Misrawi "Sejauh ini tidak satu pun
amanat konstitusi itu dilaksanakan SBY. Soal mencerdaskan kehidupan bangsa,
misalnya. Bagaimana mungkin bisa dicapai, kalau biaya pendidikan sangat mahal.
Apalagi bicara soal memajukan kesejahteraan umum. Faktanya, beban hidup rakyat
kian lama kian berat. Artinya dalam tujuh tahun terakhir Indonesia tidak
memiliki pilot, kondisi negara tanpa pilot ini ini harus diakhiri. Pembakaran
komplek perkantoran kabupaten di Bima, adalah sesuatu yang menggetarkan. “Saya
bayangkan, peristiwa Bima itu terjadi di Istana Negara. Soalnya kondisinya sama
persis. Waktu kantor bupati dibakar massa, bupatinya tidak berada di tempat.
Hal senada juga sampaikan Misbakhun Mantan anggota DPR. Menurut dia, apa yang
terjadi di Bima adalah sebuah pelajaran berharga sekaligus ironi bagi Jakarta.
Setiap hari, di Jakarta orang meneriakkan pemberantasan korupsi, reformasi
bahkan revolusi. Namun sejauh ini semua hanya sebatas ucapan belaka. sejatinya
syarat-syarat untuk terjadinya revolusi di Indonesia sudah lengkap. Mahasiswa
dan berbagai elemen masyarakat lain sudah bisa disebut satu suara tentang
revolusi. Tapi sayang, semua gerakan itu masih terpisah-pisah bagai ada partisi
yang menghalangi. Perlu satu tokoh besar yang bisa menyatukan semua gerakan
tersebut, sehingga bisa benar-benar menjadi kekuatan rakyat yang dahsyat untuk
menyudahi rezim sekarang.
Istilah negara autopilot mencuat sejak beberapa
pekan silam. Ini untuk menggambarkan negara bak berjalan sendiri tanpa
kontribusi pemerintah. Indikasinya rakyat dibiarkan memecahkan berbagai
persoalan yang membelit mereka tanpa bantuan pemerintah. Negara juga sering
absen pada saat terjadi berbagai kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan
aparat keamanan maupun sesama warga negara. Selama ini DPR tidak menjalankan
fungsinya sebagai lembaga kontrol eksekutif. Yang terjadi, justru DPR menjadi
bagian bahkan sumber masalah itu sendiri. Parahnya lagi, DPR juga telah dibajak para elit eksekutif.
Bayangkan, 560 anggota DPR, hanya sekitar 9-10 orang saja yang mendominasi.
para tokoh politik yang kritis menilai negeri ini
ibarat pesawat tanpa pilot alias dikendalikan dari jarak jauh (autopilot).
Pilot yang mereka maksud adalah presiden. Namun, dalam konteks kepemimpinan
nasional, pihak yang harus bertanggung jawab bukan hanya presiden, melainkan
juga pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif.
Di negara ini, memang ada para pemimpin formal namun tidak ada kepemimpinan substansial, yakni kepemimpinan yang menjalankan peran dan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif secara konstitusional. Akibatnya, rakyat tidak mendapatkan haknya, yakni hak untuk dilindungi, disejahterakan dan dicerdaskan.
Di negara ini, memang ada para pemimpin formal namun tidak ada kepemimpinan substansial, yakni kepemimpinan yang menjalankan peran dan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif secara konstitusional. Akibatnya, rakyat tidak mendapatkan haknya, yakni hak untuk dilindungi, disejahterakan dan dicerdaskan.
Krisis Tiga Lembaga
Rakyat juga tidak mendapatkan gambaran atau
pengetahuan tentang cita-cita rezim ini. Mau dibawa ke mana negeri ini? Ini
menjadi pertanyaan krusial yang mencemaskan dari hari ke hari. Pada dimensi eksekutif, negeri ini
beroperasi tanpa orientasi kesejahteraan rakyat, kecuali kesejahteraan
penguasa. Ibarat pesawat, negeri ini terbang di bawah remote kekuatan eksternal
(asing) atau para penguasa modal yang tamak dan anti kemanusiaan. Rakyat
sebagai pemiliki sah ‘maskapai penerbangan diposisikan sebagai korban yang
tidak punya pilihan, kecuali mengikuti pesawat yang terbang oleng dan patuh
pada pemaksaan para pembajak. Yang menjadi pertanyaan kita Di manakah sang pilot?
Pada dimensi legislatif, negeri ini tak lagi memiliki kekuatan kontrol
atas praktik penyelenggaraan negara yang auto-pilot dan pelbagai pembajakan
hak-hak rakyat. Para aktor legislatif terkadang justru menjadi pendukung para
pembajak kesejahteraan publik. Mereka harus sering berhadapan dan konflik
dengan rakyat yang (semestinya) menjadi majikannya.
Selain itu, para legislator telah menjelma menjadi entitas elitis dan ekskusif. Tingkah laku mereka tak beda dengan para majikan atau penguasa: serba menuntut dilayani dengan fasilitas mewah. Mereka juga gemar menyusun anggaran domestiknya dengan pertimbangan subjektif: serba besar. Untuk merenovasi ruangan badan anggaran saja mereka membutuhkan Rp 20,3 miliar. Kursi yang mereka pakai diimpor dari luar negeri (produk Jerman) dengan harga Rp 24 juta/buah. Setelah dicek di lapangan, harga kursi itu ternyata hanya Rp 9,1 juta (Kompas, 19/1). Ini menjadi salah satu indikator bahwa para wakil rakyat telah kehilangan sensitivitas dan kejujurannya. Di tengah penderitaan rakyat mereka tega berfoya-foya menggunakan uang rakyat.
Selain itu, para legislator telah menjelma menjadi entitas elitis dan ekskusif. Tingkah laku mereka tak beda dengan para majikan atau penguasa: serba menuntut dilayani dengan fasilitas mewah. Mereka juga gemar menyusun anggaran domestiknya dengan pertimbangan subjektif: serba besar. Untuk merenovasi ruangan badan anggaran saja mereka membutuhkan Rp 20,3 miliar. Kursi yang mereka pakai diimpor dari luar negeri (produk Jerman) dengan harga Rp 24 juta/buah. Setelah dicek di lapangan, harga kursi itu ternyata hanya Rp 9,1 juta (Kompas, 19/1). Ini menjadi salah satu indikator bahwa para wakil rakyat telah kehilangan sensitivitas dan kejujurannya. Di tengah penderitaan rakyat mereka tega berfoya-foya menggunakan uang rakyat.
dimensi yuridis, negeri ini ibarat koloni bagi
para pemangsa kebenaran dan keadilan.
Hukum berjalan berdasarkan remote kekuasaan dan uang, bukan kebenaran dan rasa
keadilan. Hukum hanya galak kepada kaum lemah, namun ramah kepada kelompok kuat
dan berlimpah uang. Para penegak hukum hanya berani mengayunkan pedang
keadilannya untuk rakyat kecil, tapi tak punya nyali melibas koruptor-koruptor
besar dan kuat. Untuk kasus pencurian sandal jepit, cacao, pisang, kayu
bakar dan barang-barang remeh lainnya yang melibatkan wong cilik, mereka
begitu ‘heroik’ mewujudkan supremasi hukum. Namun menghadapi koruptor besar,
mereka melempem. Mereka menjadikan peradilan sesat sebagai bursa untuk menggaet
keuntungan finansial.
Negeri auto pilot
merupakan analogi dari sebuah negara. Dalam hal ini negara dianalogikan sebagai
sebuah pesawat terbang. Pilotnya adalah seorang pemimpin negeri, staff nya
adalah anggota legislatif, dan rakyat dianalogikan sebagai penumpangnya. Dalam
sebuah penerbangan maka pilot dan co-pilot yang duduk di copit pesawat memiliki
peran yang sangat vital, mengapa? Hal ini karena pilotlah sebagai penentu arah
hendak kemana pesawat akan terbang dan pilot pulalah yang menentukan selamat
atau tidaknya sebuah penerbangan. Apabila dianalogikan sebagai negeri auto pilot
maka dapat ditarik dengan berbagai definisi. Pertama, negeri auto pilot adalah
negeri yang yang berjalan sendiri secara otomatis tanpa adanya pemimpin pilot
yang mengendalikannya. Pertama, negeri auto
pilot adalah negeri auto pilot adalah negeri yang berjalan secara otomatis
tanpa adanya pilot yang menjalankan pesawat tersebut. secara garis besar
analogi ini mungkin saja benar, secara umum pemerintah dinilai gagal dan seakan
“lepas tangan” dalam mengatasi persoalan bangsa. Pemerintah seakan “antara ada
dan tiada” maksudnya pemerintah dianggap ada ketika ada hal yang membanggakan
negeri ini, ambil saja contoh SEA GAMES yang baru-baru ini di helat di
Indonesia, pemerintah mengklaim bahwasanya keberhasilan pelaksaan dan
keberhasilan menjadi juara umum adalah salah satu program pemerintah yang
berhasil dilaksanakan. Hal ini memang benar adanya karena tidak dapat
dipungkiri pemerintah telah berusaha dalam memenuhi berbagai kebutuhan saat
seagames. Namun tentunya pemerintah dinilai terlalu “berkepala besar” dengan
adanya klaim tersebut. tetapi pemerintah seakan “tiada” apabila sudah
dihadapkan kepada kasus korupsi besar yang terjadi di Negeri ini, apalagi kasus
korupsi yang terkait dengan kader salah satu partai besar di negeri ini,
pemerintah seakan “cuci tangan” bahkan seakan tidak terlihat dimana peran
pemerintah dalam penanganan kasus besar ini, alih alih pemerintah menyatakan
dengan lugas “serahkan semuanya kepada hukum” hukum harus ditegakkan. Tetapi
realitasnya keadilan hukum itu seakan tidak ada. Maka seakan negeri ini
berjalan tanpa adanya pemerintah yang mejadi pilot dalam penerbangan sebuah
negeri “pancasila” ini. Tetapi sebagai warga negara yang baik, kita harus juga
memberikan kritik secara proporsional. Artinya kita tidak boleh mengkritik
secara buta. Tentunya ada prestasi yang diukir pemerintahan rezim saat ini yang
memiliki dampak luas bagi masyarakat secara keseluruhan. Seperti angka
pertumbuhan ekonomi indonesia mencapai 6%. Dan prestasi-prestasi lain yang
diukir oleh rezim pemerintahan saat ini. Kedua, negeri auto-pilot adalah negeri yang mampu berjan sendiri
tanpa adanya pemerintah. Disalah satu jembatan penyebrangan di kawasan kuningan
jakarta, Selasa (media indonesia10/1) terdapat sebuah panduk yang tidak
diketahui siapa yang memasang spanduk tersebut. disana tertulis secara jelas
“NEGERI AUTO PILOT.” Guru Besar Psikologi Politik Univesitas Indonesia
menagatakan bunyi spanduk itu menunjukkan kegusaran masyarakat terhadap rezim
saat ini. Masyarakat beranggapan bahwa tanpa Pemerintah pun negeri ini bisa
terus berjalan. Ekonomi terus tumbuh dan rakyat masih bisa makan. “rezim ini
dinilai miskin prestasi. Seolah-olah pemerintah tidur dan kehidupan berjalan
seperti biasa. Inilah sinyal yang coba dikirim lewat sinyal spanduk itu. Hamdi
mewanti-wanti pemerintah agar segara mencari solusi tepat bagi persoalan
kerakyatan, jika tidak ingin kegusaran ini menjadi kegusaran masyarakat
bereskalasi radikal (media indonesia, rabu 11 januari 2012)
Kegagalan Negara mengelolah Rakyat
Di awal tahun 2012 berkembang aksi massa dengan
eskalasi massif dari kalangan mahasiswa, buruh, tani dan nelayan. Desakan
perbaikan taraf kesejahteraan hidup menjadi agenda strategis yang
diperjuangkan. Adanya aksi itu menegaskan agar pemerintah segera
mengidentifikasi dan mencari solusi tepat bagi persoalan kerakyatan jika tidak
ingin kegusaran masyarakat bereskalasi menjadi lebih radikal dan anarkis.
Kegagalan negara mengelola rakyat membuat
Indonesia bagaikan negeri auto pilot. Sebuah negeri tanpa pemimpin yang jelas
dan berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas ke arah mana. Negeri di mana
rakyat tidak tahu arah sedangkan para pemimpinnya masa bodoh dengan keadaan
yang ada. Rakyat mulai merasakan kegusaran mendalam karena kebijakan pemerintah
gagal menyejahterakan rakyat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus sempat
diklaim pemerintah. Tapi jika kita sadar, itu bukan karena jasa pemerintah
tetapi disebabkan tradisi masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif. Perekonomian
stabil karena masyarakat bekerja tanpa adanya arahan dari negara. Perekonomian
dikendalikan asing sehingga ekonomi Indonesia cenderung liberal. Indonesia
sekarang membutuhkan tokoh reformis. Sosok pejuang yang mampu memimpin
Indonesia dan memiliki gagasan perubahan. Sebab pasca Soekarno yang menelurkan
gagasan “Revolusi” dan Soeharto dengan gagasan “Pembangunan”, pemimpin
Indonesia “bersih” dari narasi besar perubahan. Mereka gagal memfirasati diri
dan bangsanya sehingga memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya
semata.
Selain pemimpin reformis, Indonesia memerlukan
kemunculan gerakan yang mampu bersekutu dengan akar rumput. Gerakan yang mampu
membela hak rakyat yang dilanggar negara. Gerakan itu harus dipimpin, seorang
pemimpin yang berani melawan dominasi asing dan memperjuangkan hak rakyat. Jika
tidak, maka alamat palsu kepemimpinan nasional bersiap terjadi dan Indonesia
berkembang menjadi negara gagal. Pemerintah rasanya perlu disadarkan perkataan
John Gastil dalam The Jury and Democracy yang menyebutkan partisipasi publik
adalah kekuatan dari sebuah masyarakat demokratik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar