Rabu, 17 Oktober 2012

Gejolak Korupsi di Tengah Birokrasi (1)


Oleh: Aripianto (Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru)

BIROKRASI tentu sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, terutama dalam penyediaan pelayanan publik. Atau, bahkan birokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigid (kaku).
Hal tersebut karena birokrasi terikat peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Meski pun begitu, birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayananan publik dan perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan.
Birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari birorkasi.
Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap birokrasi juga masih sangat besar. Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, dengan sifat dan lingkup pekerjaannya, birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain.
Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan.
Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Secara teoritis birokrasi dapat membantu jika dibutuhkan dalam memberikan kontribusinya pada pengambilan kebijakan, dan tidak boleh pula berpihak kepada kepentingan yang sempit , dari kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Birokrasi harus netral, berperan semata-mata sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas operasional atau adminstratif secara profesional. Dalam literatur administrasi negara klasik dikenal dengan dikotomi politik dan adminstrasi (Wilson;1987, dan Goodnow,1900).
Politik berurusan dengan pengambialan kebijakan, sementara administrasi berurusan dengan implementasi kebijakan. Sebagai lembaga implementasi, sistem dan prosedur birokrasi harus dikembangkan secara efisien, antara lain dengan struktur birokrasi yang hirarkhis, aturan-aturan yang berlaku secara impersonal, juga sistem pengembangan karier yang dapat menjamin perkembangan profesional aparaturnya.
Tujuan dari pengembangan konsep ini adalah untuk menjamin efektivitas pemerintahan yang telah berkembang secara demokratis. Artinya mekanisme politik yang demokratis harus ditopang oleh birokrasi yang profesional agar semua kebijakan politik yang diputusakan dapat diimplementasikan secara lebih efisien.
Pengembangan birokrasi yang rasional pada akhirnya dapat menimbulkan proses birokratisasi, yaitu menguatnya peranan politik birokrasi dalam sistem pemerintahan yang pada gilirannya telah mengurangi kadar demokrasi dan sistem politik.
Meski pun birokrasi resminya merupakan lembaga implementasi, tetapi sesungguhnya para aparaturnya memiliki diskresi yang tinggi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Birokrasi menjadi salah satu dari segitiga di samping politisi dan kelompok kepentingan yang mempunyai peranan kunci dalam mekanisme politik (Long;1986).
Oleh karena itu, negara-negara modern saat ini sering disindir dengan julukan yang bersifat derogatif seperti adminstrative state (Waldo;1948), bureaucratic state (Caiden,1982) atau government of the bureaucrats, by the bureaucrats, for the bureaucrats (Caiden;1986). Hal demikian dimungkinkan karena birokrasi dilengkapi dengan sumberdaya yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga politik lainnya.
Dengan sumber daya yang dimiliki dan dikuasai birokrasi dapat melakukan mobilisasi dukungan politik secara efektif terhadap langkah-langkah strategis yang diambil (Long;1986). Pada tingkat ini sesungguhnya netralitas birokrasi telah dilanggar dan demokrasi telah mengalami proses pembusukan.
Tetapi proses pembusukan pada negara-negara yang telah maju, relatif dapat dikendalikan karena birokrasi muncul setelah demokrasi. Partai-partai politik telah terlanjur berkembang cukup mapan, rekrutmen politik yang demokratis telah cukup melembaga dan sikap politik warga negara sudah cukup dewasa.
Berbagai negara tersebut, kritik-kritik sosial dapat muncul dengan bebas dan proses chek and balance masih dapat berlangsung dengan cukup efektif.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, birokrasi berkembang tanpa didahului oleh demokratisasi. Indonesia mempunyai sejarah birokrasi kerajaan yang meletakan para birokratnya (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja, lalu muncul birokrasi kolonial yang dikembangkan secara rasional (Weberian) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah, dan sejak kemerdekaan sampai sekarang birokrasi merupakan organisasi besar dan modern di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi.
Sejak pemerintahan Orde Baru birokrasi berkembang merupakan lembaga yang sangat dominan dalam sistem politik Indonesia, dengan fungsi yang sangat banyak, sebagai insterumen dalam pelayanan publik, sebagai agen pembaharuan dan pembangunan, dan sebagai kekuatan politik untuk mendukung kekuasaan baik pada birokrasi sipil maupun militer.
Reformasi Birokrasi ditataran Pemerintahaan
Pada birokrasi, ketaatan bawahan terhadap atasan didasarkan pada mandat formal yang dimiliki atasan, bukan karena tradisi atau karisma yang dimiliki atasan. Prosedur diletakan sebagai alat untuk mencapai efisiensi, bukan ceremony yang memiliki nilai sakral.
Karena berdasarkan latar belakang tersebut, sifat otoritarian dari birokrasi tidaklah kental, pada tingkat tertentu individu dalam birokrasi untuk menjaga otonominya bisa menolak tidak kepada atasannya misalnya untuk melakukan berbagai pekerjaan diluar tugasnya. Birokrasi di Indonesia tidak semuanya bercirikan pemikiran Max Weber, karena tumbuh diatas masyarakat yang feodalistik (Kuntowijoyo; 1994).
Birokrasi Indonesia dirancang sebagai birokrasi yang rasional, tetapi dalam prakteknya sering diwarnai budaya feodalistik, sehingga praktek-praktek hubungan yang bersifat nepotisme mudah berkembang (Masdiana; 1995).
Hubungan antar individu dalam birokrasi bisa sangat impersonal, misalnya ketika birokrat berhadapan dengan kepentingan klien yang tidak ia kenal. Tetapi ketika berhadapan dengan yang dikenalnya, hubungan dapat berubah menjadi sangat personal.
Birokrasi agar secara substantif menjadi demokratis perlu menjaga komitmennya kepada publik, birokrasi harus berpihak kepada kepentingan rakyat.
Politisi dan adminstrator publik juga membawa mandat publik untuk melayani kepentingan publik, dan karenanya haruslah berbuat sesuai dengan rasa kewajiban moralnya sebagai pelayanan publik (Harmon &Mayer; 1986).
Tanpa kesadaran moral demikian birokrat dapat terperangkap kepada kecenderungan melayani dirinya, sesuatu yang secara mencolok menggejala dalam banyak birokrasi publik; adanya hukum-hukum formal dimungkinkan direkayasa untuk membela kepentingannya, dan melindungi diri dari kontrol sosial.
Teori Birokrasi yang ditulis oleh H.G. Frederickson (1980) bahwa keputusan pemerintah adalah hasil dari tawar menawar atau negosiasi diantara para aktor politik yang duduk dalam lembaga Legislatif yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. *(bersambung)



1 komentar: