OLEH :
ARIPIANTO
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 (UUD 1945) mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia harus
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Dengan demikian, Pemerintah diwajibkan untuk mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional bagi seluruh warga negara
Indonesia. Sistem pendidikan nasional dimaksud harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan, terutama bagi anak-anak, generasi
penerus keberlangsungan dan kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Potret
pendidikan Indonesia
Kualitas pendidikan di indonesia saat
ini sangat memprihatinkan, penyabab rendahnya kualitas pendidikan mencakup
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran dan masalah yang
teramat krusial dalam dunia pendidikan yaitu,
rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan
guru,rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
serta mahalnya biaya pendidikan. Jika kita lihat dari permasalahan rendahnya sarana fisik, banyak sekali
sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi tidak memadai dan sebagainya. Rendahnya Kualitas Guru, Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak
layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan
tingkat pendidikan guru itu sendiri. Jika kita mengaju pada data
tahun 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3) Data Balitbang
Depdiknas (1998). Rendahnya Prestasi Siswa, Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan, Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat
terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut. Mahalnya Biaya Pendidikan, Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas
memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.
Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya
yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu, sesuai
dengan amanat undang-undang dasar pasal 31 ayat 1,2...
Indeks
Pembangunan Manusia
Kualitas pendidikan
Indonesia jelas masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Negara Negara
tetangga seperti, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Hal tersebut dapat dilihat
melalui Human Development Index/ Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2006 ,
jika dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga, Indonesia menempati urutan
ke-108 dari 177 Negara, angka ini masih sangat jauh jika melihat Singapura,
Brunei, dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan 25, 34 dan 61.
Peringkat HDI tersebut menempatkan Indonesia di level menengah sedangkan,
Singapura, Brunei dan Malaysia berada pada level tinggi.Namun trend positif
menandai indeks pembangunan di Indonesia yang secara linier mengalami kenaikan
Pada tahun 2007 dimana IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728 dari
0,711 pada tahun 2006, laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27 November 2007,
namun hal tersebut tidak mengubah urutan Indonesia yang masih berada pada
peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam. Penilaian tersebut diantaranya
usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman
aksara dewasa di Indonesia menempati urutan 56. Tingkat pendaftaran di sekolah
dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Deskripsi kuantitatif tersebut
dapat menyadarkan semua elemen bangsa bahwa masih banyak kekurangan atau
masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Perhatian
khusus ditujukan pada pemerintah untuk mampu bangkit mengejar ketertinggalan,
dengan melakukan penataan kedalam (birokrasi). Demikian pula kita harapkan
kebijakan publik yang lahir akan semakin mementingkan pembangunan manusia,
sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan semakin menjauh dari
sasaran. Kesempatan
yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hal yang dilindungi oleh
undang-undang, tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1989 Bab III. Kesempatan itu diberikan kepada setiap warga Negara tanpa melihat
latar apapun, baik keterjangkauan daerah tempat tinggal, etnis, agama, gender,
status sosial-ekonomi maupun keunggulan fisik atau mental...(Kompas 21/12/ 2011)
Dewasa ini kita masih
menjumpai berbagai kenyataan yang menunjukkan bahwa masih terkendalanya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang dialami oleh anak-anak yang hidup
di daerah-daerah terpencil. Masalah ini bukan hanya terkait akses terhadap
pendidikan berkualitas semata, tetapi pendidikan dengan tingkat kelayakan atau
kualitas yang terbatas pun masih sangat sulit untuk diperoleh. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang sisdiknas menetapkan pendidikan kategori pertama ini, yaitu yang
termasuk program wajib belajar adalah jenjang pendidikan dasar selama sembilan
tahun, yang meliputi SD/Mi dan SMP/Mts. Jenjang pendidikan berikutnya, yaitu
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan termasuk kategori program
wajib belajar. Jenjang-jenjang pendidikan ini meskipun pada prinsipnya setiap
warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan pada
jenjang-jenjang pendidikan itu, namun ada sejumlah persyaratan yang harus
dipenuhi untuk memasukinya, oleh karena itu, akses diberikan kepada mereka yang
memenuhi persyaratan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu memenuhi persyaratan
tersebut tidak mampu memperoleh akses untuk pendidikan. Fenomena tersebut
adalah bentuk dari kesenjangan pendidikan di Indonesia. Kesenjangan pendidikan yang terjadi di
Indonesia dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah pada pedesaan dan
perkotaan. Pada tahun 2003 rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun
pada tahun 2003 sebesar 75,6 %. Sementara APS penduduk perkotaan untuk periode
dan kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 %. Kesenjangan yang lebih nyata
terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun. APS penduduk perkotaan tercatat
sebesar 66,7 % sedangkan penduduk perdesaan sebesar 38,9% atau separuh penduduk perkotaan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7%) merupakan alasan utama
putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki
biaya sekolah (67,0%) maupun karena harus bekerja (8,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa tingginya angka partsipasi sekolah pada masyarakat kota dan penduduk kaya
dikarenakan tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk
yang tinggal di desa dan masyarakat miskin. Kesenjangan akses pendidikan juga
dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke
atas sekitar 90,4 %, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,6% dan perempuan
sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di perdesaan
87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara terbesar adalah
pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%. Ini menunjukkan
keberhasilan dari program wajib belajar 9 tahun. Angka buta aksara pada
kelompok usia ini masih ada sekitar 1,3 % yang buta aksara. (Biro Pusat Statistik tahun 2004).
Peran Pemerintah dan Guru Dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan
Maju tidaknya mutu pendidikan tergantung dari peran para
guru dan pemerintah. Jika guru mengajar dengan baik maka hasilnya tentu baik
pula. Jika sebaliknya maka hasilnya tentu mutu pendidikan akan merosot. Hasil
kerja guru baru dapat di ketahui pada masa mendatang. Makanya guru di tuntut
mengajar anak didiknya dengan baik serta memperhatikan siswa mengerti dengan
apa yang di ajarkan.
Penulis Adalah Ketua Bidang Litbang dan Infokom Dewan
Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru
Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar