Jumat, 05 Oktober 2012

GURU PAHLAWAN KU, SUDAH “SINGKRON KAH GURU DAN PEMERINTAH (?)”


OLEH : ARIPIANTO
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, Pemerintah diwajibkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Sistem pendidikan nasional dimaksud harus mampu menjamin pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan, terutama bagi anak-anak, generasi penerus keberlangsungan dan kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Potret pendidikan Indonesia
Kualitas pendidikan di indonesia saat ini sangat memprihatinkan, penyabab rendahnya kualitas pendidikan mencakup masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran dan masalah yang teramat krusial dalam dunia pendidikan yaitu,  rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru,rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, serta mahalnya biaya pendidikan. Jika kita lihat dari permasalahan rendahnya sarana fisik, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi tidak memadai dan sebagainya. Rendahnya Kualitas Guru, Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.  Jika kita mengaju pada data tahun 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3) Data Balitbang Depdiknas (1998). Rendahnya Prestasi Siswa, Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan, Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Mahalnya Biaya Pendidikan, Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu, sesuai dengan amanat undang-undang dasar pasal 31 ayat 1,2...
Indeks Pembangunan Manusia
Kualitas pendidikan Indonesia jelas masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Negara Negara tetangga seperti, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Hal tersebut dapat dilihat melalui Human Development Index/ Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2006 , jika dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga, Indonesia menempati urutan ke-108 dari 177 Negara, angka ini masih sangat jauh jika melihat Singapura, Brunei, dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan 25, 34 dan 61. Peringkat HDI tersebut menempatkan Indonesia di level menengah sedangkan, Singapura, Brunei dan Malaysia berada pada level tinggi.Namun trend positif menandai indeks pembangunan di Indonesia yang secara linier mengalami kenaikan Pada tahun 2007 dimana IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728 dari 0,711 pada tahun 2006, laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27 November 2007, namun hal tersebut tidak mengubah urutan Indonesia yang masih berada pada peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam. Penilaian tersebut diantaranya usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa di Indonesia menempati urutan 56. Tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Deskripsi kuantitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa bahwa masih banyak kekurangan atau masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Perhatian khusus ditujukan pada pemerintah untuk mampu bangkit mengejar ketertinggalan, dengan melakukan penataan kedalam (birokrasi). Demikian pula kita harapkan kebijakan publik yang lahir akan semakin mementingkan pembangunan manusia, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan semakin menjauh dari sasaran.  Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hal yang dilindungi oleh undang-undang, tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab III. Kesempatan itu diberikan kepada setiap warga Negara tanpa melihat latar apapun, baik keterjangkauan daerah tempat tinggal, etnis, agama, gender, status sosial-ekonomi maupun keunggulan fisik atau mental...(Kompas 21/12/ 2011)
Dewasa ini kita masih menjumpai berbagai kenyataan yang menunjukkan bahwa masih terkendalanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang dialami oleh anak-anak yang hidup di daerah-daerah terpencil. Masalah ini bukan hanya terkait akses terhadap pendidikan berkualitas semata, tetapi pendidikan dengan tingkat kelayakan atau kualitas yang terbatas pun masih sangat sulit untuk diperoleh. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menetapkan pendidikan kategori pertama ini, yaitu yang termasuk program wajib belajar adalah jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun, yang meliputi SD/Mi dan SMP/Mts. Jenjang pendidikan berikutnya, yaitu pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan termasuk kategori program wajib belajar. Jenjang-jenjang pendidikan ini meskipun pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan itu, namun ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk memasukinya, oleh karena itu, akses diberikan kepada mereka yang memenuhi persyaratan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut tidak mampu memperoleh akses untuk pendidikan. Fenomena tersebut adalah bentuk dari kesenjangan pendidikan di Indonesia. Kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah pada pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2003 rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada tahun 2003 sebesar 75,6 %. Sementara APS penduduk perkotaan untuk periode dan kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 %. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun. APS penduduk perkotaan tercatat sebesar 66,7 % sedangkan penduduk perdesaan sebesar 38,9% atau separuh penduduk perkotaan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7%) merupakan alasan utama putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0%) maupun karena harus bekerja (8,7%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya angka partsipasi sekolah pada masyarakat kota dan penduduk kaya dikarenakan tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di desa dan masyarakat miskin. Kesenjangan akses pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4 %, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,6% dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di perdesaan 87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara terbesar adalah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%. Ini menunjukkan keberhasilan dari program wajib belajar 9 tahun. Angka buta aksara pada kelompok usia ini masih ada sekitar 1,3 % yang buta aksara. (Biro Pusat Statistik tahun 2004).
Peran Pemerintah dan Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
            Maju tidaknya mutu pendidikan tergantung dari peran para guru dan pemerintah. Jika guru mengajar dengan baik maka hasilnya tentu baik pula. Jika sebaliknya maka hasilnya tentu mutu pendidikan akan merosot. Hasil kerja guru baru dapat di ketahui pada masa mendatang. Makanya guru di tuntut mengajar anak didiknya dengan baik serta memperhatikan siswa mengerti dengan apa yang di ajarkan.
            Memajukan pendidikan bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Namun jika kinerja dengan baik dan benar serta penuh ketekunan di yakini pasti akan dapat pula di nikmati. Pemerintah sudah memprogramkan banyak hal dalam peningkatan mutu pendidikan dalam rangka mencetak SDM yang handal untuk masa depan, minsalnya saja meningkatkan sarana dan prasarana seperti peralatan dan keperluan sekolah yang sangat di butuhkan, memperbaiki dan membangun gedung baru, serta meningkatkan ilmu para pendidik dengan menguliahkan para guru yang tentu menghabiskan dana yang tidak sedikit...(Koran Riau 4/01/2012)











Penulis Adalah Ketua Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru
Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar