OLEH : ARIPIANTO
Pada buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966)
yang ditulis oleh Cindy Adams dan dialihbahasakan oleh Mayor Abdul Bar Salim,
Bung Karno menceritakan secara jujur dan apa adanya bagaimana proses penggalian
dari pidato Pancasila 1 Juni 1945 pada persidangan BPUPKI. Inilah refleksi 66 tahun
Pancasila dari Soekarno yang sangat bergelora dan penuh nada optimisme pada
saat membangun prinsip dasar kemerdekaan Indonesia. Bung Karno mengatakannya
sebagai philosofische grondslag yang dalam bahasa Jerman
dinamakan Weltanschauung.Weltanschauung dalam
pengertian Soekarno adalah fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang
sedalam-dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan
abadi. Sebelum Bung Karno, ada Muhammad Yamin dan Prof. Soepomo yang telah
berpidato mengenai prinsip dasar dari kemerdekaan Indonesia. Tapi, semuanya
seakan tidak mengena kepada persoalan prinsip dasar-dasar kemerdekaan
Indonesia. Tiba giliran Soekarno suasana riuh rendah yang sesekali disertai
interaksi dengan para anggota persidangan membawa suasana persidangan
menjadi “lebih hidup.” Gegap gempita tepuk tangan dan aplaus panjang
diberikan untuk pidatonya yang menggelegar dan menyentuh kalbu para
pendengarnya.
Sejarah Lahirnya Pancasila
Menurut Yudi latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna awal Lahirnya
Pancasila melalui 3 fase : fase pertama
Pembuahaan, fase ini dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan
gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakkan,seiring dengan proses
penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama(civic nationalsm) fase kedua Perumusan, dimulai pada masa
persidangan BPUPK dengan pidato Soekarno 1 juni 1945 yang setiap tahun kita
peringati sebagai hari lahirnya Pancasila.fase
ketiga Pengesahaan, dimulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara
konstitusional
dalam kehidupan bernegara...
Pancasila yang melibatkan perbagai unsur dan
golongan. karena
itu Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Sejak
disahkannya Pancasila secara konstitusional pada 18 agustus 1945, pancasila
dapat dikatakan sebagai dasar(falsafah) Negara, pandangan hidup, ideology
nasional, dan ligaturg(pemersatu) dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia, pancasila dapat di posisikan sebagai jati
diri,kepribadian,moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Kemerdekaan
Bangsa Indonesia yang berkedaulatan kepada seluruh rakyat Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut serta
dalam menjaga perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, ini lah bunyi pembukaan UUD 1945 alenia
ke empat...Pancasila
adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang
menyelimuti pembentukannya. Bukan hanya konteks waktu itu (dekat), namun
konteks jauh (sejarah budaya pikir manusia Indonesia) juga ikut andil
membentuknya. Seperti dikatakan Ir. Soekarno dalam sesi pidatonya tanggal 1
Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritzu Junbi Cosukai),
"Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini,
adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun daku telah
mengelora dengan prinsip-prinsip itu." (Lahirnya Pancasila: Kumpulan
Pidato BPUPKI, 2006). Bahwa Pancasila itu
bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan
kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari
Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. "...Pancasila
itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah
menjadi "perumus" daripada perasaan-perasaan yang telah lama
terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia-sekedar menjadi
"pengutara" daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa
Indonesia turun-temurun...Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa
Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia."
(Soediman Kartohadiprodjo, 1976)…Menghadapi penindasan dan pemerasan kolonialisme/imperialism,
kesadaran dan semangat
kebangsaan yang telah mulai tumbuh sejak awal abad kedua 20 dengan di tandai
berdirinya Budi Utomo (1908) terus berkembang, kemudian timbullah kebulatan
tekad yang di tuangkan dalam 28 Okboter 1928 yang menyatakan “berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa
satu Indonesia” Sumpah ini memilki makna begitu dalam dan sangat pantas
untuk disakralkan. Dalam sumpah itu lahirlah bangsa Indonesia dalam satu
kesatuan wilayah dan budaya
Saat infrastruktur demokrasi terus
dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan
dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi
kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena
fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan
tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis
dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih
jauh dari kenyataan. misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan
terpenuhinya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana
implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini? Kita tahu bahwa fenomena globalisasi
mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu kita dalam merespon fenomena tersebut.
Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, pengalihan kekayaan
alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang
tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga
rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam
bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC
(Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”. Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi
globalisasi dalam makna neo-colnialism atau “VOC-baju baru” itu adalah
bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat
Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai
kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan
rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam Kerja” tersebut, kita
juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita agar menjadi
lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus
lebih besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan
produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Merefleksi
pancasila
Memahami Pancasila
tidak lah cukup dengan menyimak apa yang di uraikan bung karno pada tanggal 1
Juni 1945, tetapi perlu dipelajari pula sejarah yang melatarbelakangi dan
mendukung lahirannya, serta ungkapan-ungkapan pikiran bung karno yang dikemukan
dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dari sana akan dapat kita temukan satu
rentangan benang merah yang menunjukkan konsistensi pikiran dan sikap bung
karno dalam menentang setiap bentuk penindasan serta berusaha untuk mewujudkan
kehidupan sejahterah yang berdasarkan kesederajatan dan kebersamaan
Kajian mendalam oleh Eka Darmaputera (1997) juga
telah membuktikan bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam tradisi kehidupan
masyarakat Indonesia. Itu artinya, menganti Pancasila adalah bentuk lain dari
penyangkalan terhadap natur manusia Indonesia. Kita justru harus berbangga
dengan Pancasila, karena ideologi ini lahir sebagai "anak kandung"
dari budaya pikir orang Indonesia,
serta perlunya
kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi
berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan
yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun
global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang
lebih baik.
Menyikapi kondisi saat ini yang kian “tak
bersahabat” saja dengan Pancasila, sudah selayaknya bangsa dan negeri ini
merefleksikan 66 tahun pidato Pancasila Soekarno itu. Pancasila adalah
jiwa bangsa Indonesia itu sendiri dan oleh karena itu Pancasila janganlah
dimaknai secara dogmatis dan menjadi hafalan belaka. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila bisa dimaknai terus-menerus sesuai perkembangan
zaman. Kalau sudah begini,
Pancasila sudah barang tentu menjadi pandangan hidup yang kembali kepada
akarnya, yakni bangsa Indonesia sendiri. Mari
terus pahami dan amalkan nilai-nilainya, karena kian jelas tanpa (ber)
Pancasila kita bukanlah Indonesia. Dan pada
akhirnya Pancasila pun jaya bagi kemajuan negeri. Semoga seperti itu adanya.
Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Kota
Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar