Jumat, 05 Oktober 2012

POTRET PANCASILA TAHUN 2011 “MASIH ADAKAH EKSISTENSINYA(?)”



OLEH : ARIPIANTO
Pada buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) yang ditulis oleh Cindy Adams dan dialihbahasakan oleh Mayor Abdul Bar Salim, Bung Karno menceritakan secara jujur dan apa adanya bagaimana proses penggalian dari pidato Pancasila 1 Juni 1945 pada persidangan BPUPKI. Inilah refleksi 66 tahun Pancasila dari Soekarno yang sangat bergelora dan penuh nada optimisme pada saat membangun prinsip dasar kemerdekaan Indonesia. Bung Karno mengatakannya sebagai philosofische grondslag yang dalam bahasa Jerman dinamakan Weltanschauung.Weltanschauung dalam pengertian Soekarno adalah fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Sebelum Bung Karno, ada Muhammad Yamin dan Prof. Soepomo yang telah berpidato mengenai prinsip dasar dari kemerdekaan Indonesia. Tapi, semuanya seakan tidak mengena kepada persoalan prinsip dasar-dasar kemerdekaan Indonesia. Tiba giliran Soekarno suasana riuh rendah yang sesekali disertai interaksi dengan para anggota persidangan membawa suasana persidangan  menjadi “lebih hidup.” Gegap gempita tepuk tangan dan aplaus panjang diberikan untuk pidatonya yang menggelegar dan menyentuh kalbu para pendengarnya.
Sejarah Lahirnya Pancasila
Menurut Yudi latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna  awal Lahirnya Pancasila melalui 3 fase : fase pertama Pembuahaan, fase ini dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakkan,seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama(civic nationalsm) fase kedua Perumusan, dimulai pada masa persidangan BPUPK dengan pidato Soekarno 1 juni 1945 yang setiap tahun kita peringati sebagai hari lahirnya Pancasila.fase ketiga Pengesahaan, dimulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara...
Pancasila yang melibatkan perbagai unsur dan golongan. karena itu Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Sejak disahkannya Pancasila secara konstitusional pada 18 agustus 1945, pancasila dapat dikatakan sebagai dasar(falsafah) Negara, pandangan hidup, ideology nasional, dan ligaturg(pemersatu) dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, pancasila dapat di posisikan sebagai jati diri,kepribadian,moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.  Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang berkedaulatan kepada seluruh rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini lah bunyi pembukaan UUD 1945 alenia ke empat...Pancasila adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang menyelimuti pembentukannya. Bukan hanya konteks waktu itu (dekat), namun konteks jauh (sejarah budaya pikir manusia Indonesia) juga ikut andil membentuknya. Seperti dikatakan Ir. Soekarno dalam sesi pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritzu Junbi Cosukai), "Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun daku telah mengelora dengan prinsip-prinsip itu." (Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, 2006). Bahwa Pancasila itu bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. "...Pancasila itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah menjadi "perumus" daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia-sekedar menjadi "pengutara" daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun...Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia." (Soediman Kartohadiprodjo, 1976)…Menghadapi penindasan dan pemerasan kolonialisme/imperialism, kesadaran dan semangat kebangsaan yang telah mulai tumbuh sejak awal abad kedua 20 dengan di tandai berdirinya Budi Utomo (1908) terus berkembang, kemudian timbullah kebulatan tekad yang di tuangkan dalam 28 Okboter 1928 yang menyatakan “berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa satu Indonesia” Sumpah ini memilki makna begitu dalam dan sangat pantas untuk disakralkan. Dalam sumpah itu lahirlah bangsa Indonesia dalam satu kesatuan wilayah dan budaya
Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan. misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini? Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu kita dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”. Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau “VOC-baju baru” itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam Kerja” tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Merefleksi pancasila
Memahami  Pancasila tidak lah cukup dengan menyimak apa yang di uraikan bung karno pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi perlu dipelajari pula sejarah yang melatarbelakangi dan mendukung lahirannya, serta ungkapan-ungkapan pikiran bung karno yang dikemukan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dari sana akan dapat kita temukan satu rentangan benang merah yang menunjukkan konsistensi pikiran dan sikap bung karno dalam menentang setiap bentuk penindasan serta berusaha untuk mewujudkan kehidupan sejahterah yang berdasarkan kesederajatan dan kebersamaan
Kajian mendalam oleh Eka Darmaputera (1997) juga telah membuktikan bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu artinya, menganti Pancasila adalah bentuk lain dari penyangkalan terhadap natur manusia Indonesia. Kita justru harus berbangga dengan Pancasila, karena ideologi ini lahir sebagai "anak kandung" dari budaya pikir orang Indonesia, serta perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Menyikapi kondisi saat ini yang kian “tak bersahabat” saja dengan Pancasila, sudah selayaknya bangsa dan negeri ini merefleksikan 66 tahun pidato Pancasila Soekarno itu.  Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia itu sendiri dan oleh karena itu Pancasila janganlah dimaknai secara dogmatis dan menjadi hafalan belaka. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bisa dimaknai terus-menerus sesuai perkembangan zaman. Kalau sudah begini, Pancasila sudah barang tentu menjadi pandangan hidup yang kembali kepada akarnya, yakni bangsa Indonesia sendiri. Mari terus pahami dan amalkan nilai-nilainya, karena kian jelas tanpa (ber) Pancasila kita bukanlah Indonesia.  Dan pada akhirnya Pancasila pun jaya bagi kemajuan negeri. Semoga seperti itu adanya.









Penulis Adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
 Kota Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar